ArtikelBerita

PEMERINTAH OLIGARKI PANTAS DIKRITISI ? TOLAK UU CIPTA KERJA

PERESMIAN UNDANG-UNDANG ASAL-ASALAN

Selasa, 21 Maret 2023 DPR-RI bersama pemerintah mengesahkan PERPPU No. 2 Tahun 2022. Peresmian tersebut dilakukan pada saat Rapat Paripurna ke-19 di kompleks Parlemen oleh MK melalui putusan No. 91/PUU-XVIII/2020. Pada tanggal 5 Oktober 2020, DPR mengesahkan UU Cipta Kerja. Pengesahan UU ini telah menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat, mulai dari mahasiswa sampai tenaga kerja.

Alasan pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja tersebut ialah untuk mengantisipasi ancaman resesi ekonomi dan ancaman geopolitik global, padahal sudah jelas dalam putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 bahwasannya UU Cipta Kerja tetap berlaku maka tidak ada kekosongan hukum dalam pemerintahan dan MK memerintahkan untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu yang ditentukan, yaitu dua tahun setelah putusan tersebut diterbitkan bukan malah menggantikannya dengan Perppu yang tidak perlu.

Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2020 telah menjadi isu panas sejak tahun 2019, Undang-undang ini merupakan Omnibus Law dimana di dalamnya merangkap penyusunannya menggunakan model Omnibus Law mencakup sepuluh bidang kebijakan yang sebelumnya ada sepuluh bidang, sebagai berikut:

1. Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha

2. Ketenagakerjaan

3. Kemudahan, Perlindungan, serta Pemberdayaan Koperasi dan UMK-M

4. Kemudahan Berusaha

5. Dukungan Riset dan Inovasi

6. Pengadaan Tanah

7. Kawasan Ekonomi

8. Investasi Pemerintah Pusat dan Percepatan Proyek Strategi Nasional

9. Pelaksanaan Administrasi pemerintah

10. Pengenaan Sanksi

Kronologi Singkat

Perppu Cipta Kerja ini berkaitan erat dengan Omnibus Law pada 17 Desember 2019 silam. Setelah istilah Omnibus Law muncul pertama kalinya dalam pidato Presiden Joko Widodo,  Pemerintah mulai membentuk Satgas Omnibus Law.

Dilanjutkan pada 2 April 2020, tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law baru mulai dibahas DPR pada dalam Rapat Paripurna ke-13.

Pada tanggal 5 Oktober 2020, Pemerintah membentuk satgas pembentukan undang-undang ini yang kemudian draftnya dilanjutkan ke DPR. Hal yang mengganjal dalam proses pengesahan UU ini, yakni dijalankan secara terburu-buru bahkan DPR rela untuk mengadakan rapat secara maraton yang kemudian menjadi sebuah pertanyaan besar. Berjalan mulus, pembahasan RUU ini tuntas dan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan sebagai UU. Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja resmi disahkan DPR menjadi undang-undang pada rapat paripurna. UU Cipta Kerja merupakan RUU yang diusulkan Presiden Joko Widodo dan merupakan bagian dari RUU Prioritas Tahun 2020 dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020. Akan tetapi, dalam rapat tersebut Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tetap pada sikapnya menolak RUU sapu jagat tersebut. Namun, suara dua fraksi itu kalah oleh tujuh fraksi lainnya yang mendukung pengesahan RUU ini, yakni PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Lalu bagaimana dengan keputusan MK? Pada 25 November 2021, Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat secara formil sekaligus menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat dan memang benar bahwa UU Cipta Kerja ini merupakan UU yang cacat secara formil maupun materil. 

Berakhir pada 30 Desember 2022, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja).

Apakah dengan kondisi saat ini UU tersebut sangat genting untuk secepatnya disahkan? 

PERMAINAN UU CIPTA KERJA DENGAN SISTEM OLIGARKI DAN MONOPOLI SAMPAI RAKYAT DIKHIANATI

Dengan penetapan UU Cipta kerja oleh Presiden serta DPR yang dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa prasyarat konstitusional, yakni “Kegentingan yang memaksa”, memperkuat kembali sinyal elemen publik selama ini tentang wajah oligarki yang menempel dalam UU Cipta kerja. Jika memang begini, kata pujian yang tepat, yakni “Habis terang, terbitlah gelap” dan UU Cipta kerja adalah cermin kegelapan wajah hukum dan kekuasaan Indonesia.

Pasal-Pasal yang Dinilai Bermasalah

  1. Pasal 154A Pemutus Hubungan Pekerjaan (PHK)

Dengan diterbitkannya pasal ini, buruh rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Salah satu contohnya, yakni ketika mengalami kecelakaan kerja. Pasal 154A mengenai alasan pemutusan hubungan kerja. Alasannya, yakni pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas dua belas bulan maka buruh akan mendapatkan ancaman untuk di PHK.  

2. Pasal 64 Tenaga Alih Daya UU Cipta Kerja

Pasal ini dinilai bermasalah dan turut dikhawatirkan oleh Serikat Buruh sebab tidak ada penjelasan maupun batasan yang jelas mengenai penggunaan tenaga alih daya atau outsourcing. Pasal ini dapat mengancam hak-hak para pekerja serta menciptakan ketidakpastian dalam hubungan kerja.

3. Pasal 88C, 88D, dan 88F Upah Minimum UU Cipta Kerja

Munculnya “Indeks tertentu” pada Pasal 88D ayat 2 Perppu Cipta Kerja dinilai semakin meyakinkan upah murah bagi para buruh. Upah minimum kota/kabupaten sebagai dasar upah minimum pekerja juga turut dihapuskan pada Pasal 88C. Pasal ini dapat mengancam kesejahteraan para pekerja, terutama bagi mereka yang bekerja di sektor informal dan tidak tergabung dalam serikat pekerja. 

4. Pasal 59 Ayat (4) Kontrak Seumur Hidup dan Pasal 79 Ayat (2) huruf (b) Pemotongan Waktu Istirahat UU Cipta Kerja

Pasal ini berpotensi membuat pekerja menjadi pegawai kontrak tanpa ada batas waktunya sebab aturan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja diatur oleh peraturan pemerintah. Waktu kerja menjadi tereksploitasi terhadap pekerja karena pada Pasal 79 Ayat (2) huruf (b) pekerja hanya diberikan waktu istirahat mingguan selama satu hari dan enam hari bekerja dalam sepekan, sedangkan di dalam UU Ketenagakerjaan yang lama diatur hari libur sebanyak dua hari dalam satu pekan.

Serikat buruh, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi mengecam terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Direktur LBH Jakarta, Citra Referandum, mengatakan lembaganya mengecam terbitnya Perppu itu karena tidak dilatarbelakangi keadaan genting yang memaksa dalam menjalankan kehidupan bernegara serta merupakan bentuk pengkhianatan terhadap putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020. Presiden dalam menerbitkan Perppu harus didasarkan pada keadaan yang objektif. Apabila diukur dari tiga tolak ukur, keberadaan Perppu ini tidak memenuhi syarat karena selama ini Pemerintah menggunakan UU 11/2020 (UU Cipta Kerja) untuk melaksanakan kebutuhan mendesak dalam penyelesaian masalah hukum yang masuk dalam ruang lingkupnya, dan selama ini tidak terjadi kekosongan hukum. Artinya, syarat-syarat untuk menerbitkan Perppu dengan alasan kegentingan yang memaksa tersebut sudah salah kaprah.

Dalam putusannya, MK menyatakan undang-undang tersebut cacat formil dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat atau bertentangan dengan konstitusi jika dua tahun tak direvisi. Alih-alih mematuhi putusan MK, Presiden Jokowi memilih jalan pintas dengan menerbitkan Perppu. Padahal sejumlah syarat penerbitan Perppu, seperti kegentingan yang memaksa, tak terpenuhi. Dewan seharusnya menolak Perppu ini karena merupakan bentuk pengkhianatan terhadap putusan MK, bukan justru menyetujuinya.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA. HNW (Hidayat Nur Wahid) menyampaikan  bahwa penerbitan Perppu No 22/2022 ini juga tidak sesuai dengan syarat untuk bisa diterbitkannya Perppu. Aturan itu ada dalam Konstitusi/UUD NRI 1945 pasal 22 ayat (1), yakni adanya kegentingan yang memaksa. Walaupun secara teori, tafsir kegentingan yang memaksa itu adalah penilaian subjektif presiden, tetapi common sense dan pada prakteknya tentu harus didukung dengan argumentasi yang legal rasional dan kemudian perlu diuji secara objektif oleh DPR. Sementara MK sendiri juga sudah pernah memberikan rambu-rambu soal kategorisasi kegentingan yang memaksa sebagai alasan bisa dikeluarkannya Perppu. Hal itu tertuang pada Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni pertama, adanya keadaan genting yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk segera diselesaikan.

HNW juga menyampaikan bahwa “Perppu Cipta Kerja ini jelas tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh putusan MK tersebut. Karena substansi UU Cipta Kerja itu merevisi banyak UU yang lama sehingga sejatinya tidak ada kekosongan hukum sama sekali. Negara ini tetap bisa berjalan dengan baik tanpa adanya UU Cipta Kerja tersebut,”

Selain itu, melihat dari pernyataan Presiden Joko Widodo sebelumnya bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih baik di antara anggota G-20. Apalagi dengan kekukuhan presiden Jokowi yang tetap berencana memindahkan ibu kota, yang menyiratkan tiadanya kegentingan memaksa itu, bahkan oleh Pemerintah UU IKN (Ibu Kota Negara) ingin direvisi agar APBN dapat dipakai untuk membangun IKN. Ini semua menunjukkan tidak adanya kegentingan memaksa untuk diterbitkannya Perppu.

DAFTAR PUSTAKA

Ady Thea DA. (2023, Januari 2) LBH Jakarta: Perppu Cipta Kerja Bentuk Pengkhianatan terhadap Putusan MK

https://www.hukumonline.com/berita/a/lbh-jakarta–perppu-cipta-kerja-bentuk-pengkhianatan-terhadap-putusan-mk-lt63b2650d21831/

Forum Mahasiswa Hukum Peduli Keadilan (FORMAH PK) Lembaga Otonom pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang bergerak dalam bidang Advokasi Non-Litigasi. http://formahpk.hukum.ub.ac.id/perppu-ciptaker-kegentingan-atau-kelicikan/

Komahi. (2023, Maret 19) PERPPU CIPTA KERJA: PERATURAN DIMONOPOLI, RAKYATDIKHIANATI! https://komahi.uai.ac.id/perppu-cipta-kerja-peraturan-dimonopoli-rakyat-dikhianati/

“Perpu Cipta Kerja Dinilai Tak Memenuhi Syarat Kegentingan Memaksa”

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18845

Presiden Republik Indonesia. 2022. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja. Sekretariat Negara. Jakarta.

Wakil MPR. (2023, Januari 2) Kritik Perppu Cipta Kerja, HNW: Seharusnya Presiden Laksanakan Putusan MK, Bukan Malah Membuat Perppu yg Dinilai Abaikan MK

https://www.mpr.go.id/berita/Kritik-Perppu-Cipta-Kerja,-HNW:-Seharusnya-Presiden-Laksanakan-Putusan-MK,-Bukan-Malah-Membuat-Perppu-yg-Dinilai-Abaikan-MK

KEMENTRIAN SOSIAL POLITIK

BEMFA MIPA UM 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *