Diskusi Interaktif “CORONA : KURUNG RAKYAT, LEPAS NARAPIDANA”

Posted Leave a commentPosted in Berita

Pemantik : Fadhil Fathurochman (Presma BEM FMIPA UM)

Moderator : Urbach Aisa Kemal (Sekmen Riset&Teknologi BEM FMIPA UM 2020)

Ringkasan Diskusi :

Mengenai pembahasan di media sosial bahwa “terpidana kasus korupsi” akan dibebaskan nyatata belum sepenuhnya benar. Hal tersebut masih menjadi tanda tanya sebab Bapak Yosonna Laoly selaku Meteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengklarifikasi mengenai pernyataan yang ia gugat dengan klarifikasi bahwa itu baru usulan saja.

Bapak Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamananan menyatakan bahwa “Sampai sekarang pemerintah tidak merencanakan mengubah / merevisi PP no 99 tahun 2012”

Pemantik juga mengatakan bahwa ia setuju dengan keputusan yang memberi remisi / kebebasan bersyarat kepada para pelaku tindak pidana umum sebanyak 30 ribu narapidana dengan alasan bahwa ruang sel yang ditempati kumuh dan sempit serta para terpidana tindak pidana umum harus bergantian tidur karena ruangan sempit yang ditempati lebih dari kapasitas selnya dan juga masalah kesehatan juga yang dipertimbangan dengan adanya covid-19 ini. Namun, pemantik (pemantik memakai sumber dari video najwa shihab) tidak setuju jika para narapidana korupsi, narkoba, dan terorisme di bebaskan sesaui karena sel yang di tempati cukup luas dan ada beberapa ruang sel yang satu kamar bisa satu orang saja, maka alasan yang di pakai untuk membebaskan  para terpidana kasus korupsi dengan mempertimbangkan kesehatan akibat dari covid-19 ini tidak cocok jika di peruntukan untuk mereka.

Gagasan oleh Pak Yasonna tentang 2/3 masa tahanan dan diatas 60 tahun pada para narapidana korupsi juga tidak efektif. Mengingat ayahanda Setnov pasti bisa keluar dengan gagasan ini. Namun juga ada syarat2nya yaitu menyelesaikan masalah perkara dan membongkar tentang perkata, membayar denda dan sudah 2/3 masa tahanan serta mendapat izin dari direktur jendral kesehatan.

Dari pemantik juga mengatakan bahwa Yasonna mengaku telah mengantongi lampu hijau, jika ini bisa terealisasikan. (mungkin adanya jalur kepentingan).

Kesimpulan ;

  • Belum adanya konfirmasi yang jelas menganai hal ini dari pemerintah.
  • Sepakat dengan keputusan yang memberi remisi / kebebasan bersyarat kepada para pelaku tindak pidana umum sebanyak 30 ribu narapidana dengan alasan bahwa ruang sel yang ditempati kumuh dan sempit serta para terpidana tindak pidana umum harus bergantian tidur karena ruangan sempit yang ditempati lebih dari kapasitas selnya dan juga masalah kesehatan juga yang dipertimbangan dengan adanya covid-19 ini. Namun, tidak setuju jika para narapidana korupsi, narkoba, dan terorisme di bebaskan sesaui karena sel yang di tempati cukup luas dan ada beberapa ruang sel yang satu kamar bisa satu orang saja, maka alasan yang di pakai untuk membebaskan  para terpidana kasus korupsi dengan mempertimbangkan kesehatan akibat dari covid-19 ini tidak cocok jika di peruntukan untuk mereka.

Pertanyaan :

1. Dari @prasettiuul “Adakah pengawasan pembatasan aktivitas bagi napi yang akan bebas?”

Jawaban pemantik : Ini masih sebuah keputusan yang belum dilakukan atau beberapa sudah melakukan. Tapi yang dilakukan saat ini mereka monitoring saja, dan orang ini dibebaskan namun ada asimilasi.

2. Dari @muhammadarifw “ Apakah suatu kebijakan pembebasan napi ini menandakan bahwa negara ini belum siap secara infrastuktur maupun strategi melawan pandemic ini?

Jawaban pemantik : Untuk infrastruktur sangat kurang, dari 200ribu yg terkena tindak pidana kita hanya bisa menampung 170ribu orang. Bisa dilihat diyoutube/video2 bahwa satu kamar sel bisa 30 orang. Sangat jelas, infrastruktur sangat kurang dan kesehatanpun bisa dipertanyakan.

3. Dari @bargazi.th : “Bagaimana pernyataan menkopolhukam Bapak Mahfud MD yang menyatakan tidak akan membebaskan napi koruptor?”

Jawaban pemantik : pernyataan Bapak Yasonna Laoly masih mengambang, yang ia ambil dari pernyataan sangat kompleks dari tindak pidana umum dan sebagainya. Dari tahun 2015 Bapak Yohannes sudah mengusulkan untuk merevisi PP no 99 tahun 2012 dan sekarang dilakukan kambali. Dari Bapak Mahfud MD menerangkan bahwa sampai sekarang pemerintah tidak merencakan atau merevisi PP no 99 tahun 2012.

4.Dari @prasettiuul :“Jika pembebasan napi ini kurang efektif untuk mengurangi pencegahan pandemic ini. Lalu bagaimana langkah solutif menurut anda menimbang memang lapas yang sangat membeludak?”

Jawaban pemantik : saya sepakat dengan keputusan mentri bahwa akan melepaskan 30-35ribu napi namun tidak dengan napi tindak pindah terorisme, korupsi dan narkotika.

5. Dari @dianvitanf : “Diberita, sekarang banyak warga yg ditangkap karena tidak pathuh dengan protocol covid-19. Apakah lapas sekarang yg seharusnya digunakan untuk memenjarakan napi justru digunakan untuk penjara rakyat?

Jawaban pemantik : kita sama-sama terkurung karena harus mengisolasi diri.

6. Dari @yohannes16 : “Untuk pembebasan pengedar narkoba, bukankah menjadi bahaya? Karena masih ada kemungkinan koneksi antar pengedar masih terus berlanjut.

Jawaban pemantik : Jadi dalam PP no 29 tahun 2012 dijelaskan bahwa itu menyangkut tidak korupsi, narkotika dan terorisme.

7. Dari @sptnar : “Bedanya lockdown sama karantina wilayah itu apa?”

Jawaban pemantik : kalau lockdown kita terkunci, tapi pemerintah memberikan subsisdi berupa uang, logistic untuk lockdown ini. Sedangkan kalau karantina wilayah kita masih bia mengerjakan kegiatan kita sehari-hari tetapi dengan sosial distancing atau physical distancing tetapi pemerintah tidak memberikan subsidi (ada yg memberikan subsidi namun dari gurbernur atau walikotanya masing-masing).

8. Dari @@prasettiuul : “Cara mencegah  agar mencegah penyebaran pamdemi ini?”

Jawaban pemateri : tips dari pemantik : menjalan kehidupan seperti biasa namun tetap waspada. Ketika batuk atau lain-lain langsung minum obat, dan langsung pakai masker.

air-jordan-4-retro-cement-x-new-era-chicago-bulls-sneaker-hook-up-hat | Upcoming 2021 Nike Dunk Release Dates – nike lunarswift 4 blue screen size chart printable – Fitforhealth

Lima Langkah Pencegahan Virus Corona ala Sobat EDUKASI

Posted Leave a commentPosted in Informasi

Kasus virus Corona Covid-19 telah mewabah di berbagai belahan dunia. Terbaru, Indonesia mengonfirmasi dua kasus infeksi virus ini telah terjadi. Hingga Senin (2/3/2020), tercatat lebih dari 89.000 kasus infeksi Covid-19 di dunia dengan lebih dari 3.000 kasus kematian (dikutip dari kompas.com). Untuk diketahui, virus ini dapat menyebar ketika partikel virus pada orang yang sakit masuk ke dalam orang yang sehat. Ketika Sobat EDUKASI melihat orang batuk, bersin, atau sakit, Sobat EDUKASI menjaga jarak, dengan jarak 50 sentimeter sampai 2 meter untuk menjaga agar tetap aman dari jangkauan partikel virus yang besar.

Perlu diingat, orang yang memakai masker mungkin tidak sakit, dia mungkin hanya sedang melindungi diri. Meskipun begitu, terkadang air liur orang yang sakit, dapat menempel pada tangan mereka, gagang pintu, bolpoin, mouse, pegangan kereta, tisu, gelas, sumpit, tombol lift, pegangan tangga, bahkan di bagian luar masker yang dapat menularkan virus Corona. Jika Sobat EDUKASI tidak sengaja menyentuh benda-benda tersebut, lalu kemudian menyentuh wajah sendiri atau bahkan wajah orang-orang terdekat, semua bisa jatuh sakit, karena virus ini dapat menempel pada permukaan benda lebih dari 24 jam.

Oleh karena itu, yuk sebaiknya ikuti lima langkah ala Sobat EDUKASI dalam melakukan pencegahan terhadap virus Corona :

  • Jangan menyentuh wajah sendiri atau wajah orang lain

Jika memang harus, yuk cuci tangan dengan sabun secara menyeluruh (cuci tangan sampai siku), cuci bagian belakang telapak, sela-sela jari, bagian bawah kuku dengan durasi kurang lebih 20 detik atau durasi yang sama saat bernyanyi Selamat Ulang Tahun sebanyak dua kali

  • Pakai masker! Lalu buang masker setelah merasa kotor

Jangan sampai digunakan sampai seharian lebih ya Sobat EDUKASI! Karena, bakteri dapat berkembang biak di dalam masker jika dipakai terlalu lama. Usahakan jangan sampai menyentuh di bagian luar masker, kalaupun terlanjur segeralah cuci tangan dengan sabun!

  • Jangan berbagi alat makan, gelas, maupun handuk

Sobat EDUKASI wajib memiliki handuk sendiri-sendiri yaa!! Jangan bergantung dengan orang lain, apalagi bergantian menggunakan sendok saji untuk mengambil makanan

Siku pasti tidak akan menyentuh wajah walau dicoba loh. Coba Sobat EDUKASI buktikan! Hal ini merupakan salah satu pencegahan virus-virus yang menempel pada gagang pintu

  • Selalu cuci tangan dengan sabun yaa!

Jangan lupa membawa hand wash kemana-mana ya Sobat EDUKASI! Selalu ingat untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, apalagi setelah berpergian ke tempat umum. Yuk biasakan dengan pola hidup sehat!

            Selain melakukan lima pencegahan untuk terhindar dari virus Corona, Sobat EDUKASI jangan sampai abai dengan kesehatan diri. Bagi mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, orang lanjut usia, dan anak-anak kecil, ada kemungkinan virus dapat menyebabkan penyakit saluran pernapasan yang lebih serius seperti pneumonia atau bronkitis. Karena, ciri-ciri gejala penyakit virus Corona mirip dengan flu biasa, pilek, batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam yang bisa berlangsung beberapaa hari.

            Berapa lama masa inkubasi? Periode karantina virus Corona adalah 14 hari dari tanggal paparan terakhir karena 14 hari adalah periode inkubasi terpanjang yang terlihat untuk penyakit serupa. Untuk itu, kesadaran Sobat EDUKASI merupakan kunci. Jika sakit dan memiliki alasan untuk meyakini bahwa itu adalah virus Corona, Sobat EDUKASI harus memberi tahu penyedia layanan kesehatan dan mencari pengobatan lebih awal. Jaga Kesehatan yaa!! (anl) 😊

nike-dunk-low-coast-uncl | Giftofvision – The Global Destination For Modern Luxury

NASKAH AKADEMIK RUU CIPTA LAPANGAN KERJA DARI SUDUT PANDANG MIPA

Posted Leave a commentPosted in Berita

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.

Pembahasan mengenai Omnibus Law semakin marak di perbincangkan di berbagai lapisan masyarakat. Dimulai dari pidato Presiden Jokowi setelah dirinya dilantik menjadi presiden pada tanggal 20 Oktober 2019 lalu. Menurut Hendra Soenardi tujuan dibentuknya Omnibus Law adalah sebagai solusi untuk megatasi rumitnya birokrasi instansi pemerintah yang memunculkan ketidakpuasan investor.

Produk dari Omnibus Law terdiri dari UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan. Secara garis besar, Omnibus Law memiliki fungsi untuk menstandarisasi produk hukum bermasalah di beberapa kebijakan sektoral seperti pembangunan ekonomi dan investasi.

Penerapan omnibus law dianggap tidak sejalan dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang perundang-undangan. Penerapan omnibus law akan melemahkan posisi pemerintah daerah dan buruh karena terjadinya sifting pemerintah pusat dan bisnis akan menjadi lebih kuat.

Menanggapi draft RUU Cipta Lapangan Kerja yang beredar di masyarakat tersebut nampaknya membawa polemik baru. Omnibus Law berisi 79 UU dengan 1.244 pasal yang terdiri dari 11 kluster. Dari 11 kluster ini yang paling berdampak di lingkungan adalah kluster 9 mengenai Pengadaaan Lahan.

Terlebih lagi RUU Cipta Lapangan Kerja yang disusun dengan pendekatan Omnibus Law di sinyalir akan melemahkan penegakan hukum lingkuangan yang telah diatur dalam UU No 32 tahun 2009 Tentang perlindungan dan Pengelolaan lingkuan hidup. RUU Cipta Lapangan Kerja berupa melemahkan beberapa ketentuan seperti pengawasan,penegakan,hukum perdata, dan pidana lingkungan hidup.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun identifikasi masalah yang akan dikaji dalam Naskah Akademik RUU Cipta Lapangan Kerja mengenai Lingkungan Hidup yang termuat dalam kluster 9 , meliputi :

  1. Permasalahan apa yang dihadapi dalam pelaksanaan RUU Cipta Lapangan Kerja bagi lingkungan hidup.
  2. Apakah yang menjadi dasar penolakkan terhadap RUU Cipta Lapangan Kerja

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK.

Tujuan penyusunan Naskah Akademik Penolakan RUU Cipta Lapangan Kerja yaitu :

  1. Merumuskan permasalahan dan kerugian apa yang ditimbulkan dari RUU Cipta Lapangan Kerja ditinjau dari aspek :
  2. Lingkungan Hidup
  3. Pertambangan Minerba
  4. Perikanan Kelautan
  5. Perkebunan
  6. Kehutanan
  7. Perubahan ketentuan penegakkan hukum yang sebelumnya dimuat dalam UU NO 32 Tahun 2009 dilakukan tanpa adanya evaluasi yang komprehensif terhadap pelaksanaan penegakkan hukum lingkungan di Indonesia dan lebih banyak merugikan masyarakat . alasan perubahan juga tidak didukung oleh kajian dan praktik yang kuat.

D. METODE

Metode penyusunan Naskah Akademik Penolakkan RUU Cipta Lapangan Kerja adalah dengan Konsolidasi Terbuka bersama Warga FMIPA Universitas Negeri Malang dan metode pengkajian studi pustaka.

BAB II

PEMBAHASAN

A. KAJIAN TEORITIS

  1. OMNIBUS LAW TERHADAP PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau PPLH yang kita ketahui diatur dalam UU NO 32 Tahun 2009 dimana Polri/ PPNS serta badan yang berwenang dalam hal ini bisa melakukan pengawasan dan penindakan terhadap Lingkungan Hidup tanpa harus diserahkan ke pemerintah pusat. Dengan adanya Omnibus Law ini, pengawasan, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan penindakan hukum perdata atau pidana bagi pelanggar yang merugikan lingkungan hidup terancam dilemahkan atau dikaburkan.

Seluruh kewenangan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Jika dilihat dari sisi masyarakat, penunjukkan subjek hanya “Pemerintah Pusat” berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan birokrasi. Kewenangan Instansi berpotensi lebih mudah diubah karena hanya diatur dalam level peraturan pemerintah. Selain itu, akses masyarakat terhadap informasi, partisipasi publik dan keadilan terhadap persetujuan ini semakin sulit . Contohnya, ketika di daerah pemukiman warga akan didirikan pabrik, ada pembatasan akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam keadilan pengambilan keputusan karena persetujuan membuang limbah ke media lingkungan harus mendapat persetujuan Pemerintah pusat yang bukan tidak mungkin pemerintah akan mudah menyetujuinya, padahal dampak ke kedepannya akan dirasakan oleh masyarakat sekitar pabrik tersebut.

Permasalahan yang juga menjadi sorotan dalam konteks ini yaitu pengawasan dan pengenaan sanksi administrasi banyak dihapuskan, tindak materil diubah menjadi peningkatan sanksi administrasi denda terlebih dahulu. Lalu bagaimana dengan pencemaran/ kerusakan yang kompleks sehingga berdampak pada bencana besar dan bagaimana penerapan sanksi administrasi diterapkan sementra izin lingkungan sendiri dihapuskan? Hal ini juga membatasi sanksi administrasi yang hanya berupa denda padahal sebelumnya ada pilihan paksaan pemerintah yang lebih efisien untuk segera menghentikan pelanggaran yang menimbulkan pencemaran/ kerusakan lingkungan hidup

Pengawasan dan pengenaan sanksi administrasi atas pelanggaran bidang lingkungan hidup diamputasi dengan menghapuskan pasal 72-75 serta mengubah pasal 76. dalam hal ini, tidak ada lagi ketegasan dalam UU tentang instansi yang bertanggungjawab dalam pegawasan Lingkungan Hidup, kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan jenis sanksi administrasi.

2. OMNIBUS LAW TERHADAP PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA.

Omnibus Law disini terfokus memberikan intensif terhadap pelaku usaha/ pemilik tambang yang melakukan smelting (pengolahan dan pemurnian mineral, termasuk batu bara) antara lain diberlakukannya bebas DMO dan royalti 0% . Jika pelaku usaha atau pemilik tambang ini melakukan smelting akan diberi jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang sampai seumur tambang.

DMO sendiri merupakan Domestic Market Obligation yaitu, kewajiban Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap untuk menyerahkan sebagian minyak dan gas bumi dari bagiannya kepada negara melalui Badan Pelaksana dalam rangka penyediaan minyak dan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang besarnya diatur dalam Kontrak Kerja Sama (biasanya cenderung dihargai lebih murah).

Dalam penerapannya masih banyak perusahaan tambang batu bara yang tak mencapai target minimal untuk memasok pasar domestik atau domestic market obligation (DMO). Sesuai aturan, target DMO adalah 25% dari produksi tambang. Namun, persoalan disparitas harga antara domestik dan pasar luar negeri membuat para penambang lebih memilih ekspor ketimbang dijual di dalam negeri. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi penerapan DMO di indonesia

Dalam omnibus law ini ketetapan DMO akan di hapuskan menimbang banyak perusahaan tambang yang tidak mencapai target minimal. Meskipun begitu, tidak seharusnya DMO dihapuskan karena PLN masih memenuhi kebutuhan pasokan batubara nya lewat pertambangan di Indonesia serta pengutamaan pemasokkan kebutuhan mineral dan batubara untuk kepentingan dalam negeri.

Masih ada solusi untuk mengatasi tantangan mengenai DMO tersebut selain menghapuskannya, seperti :

  1.   Melakukan perubahan spesifikasi batubara PLTU percepatan dan dibuat range spesifikasi batubara(Kalori,belerang,kadar air) serta dibangunnya fasilitas coal blending
  2.   Pembangunan dan penempatan PLTU batubara skala kecil harus parallel dengan pemetaan coal resource pelaku usaha kecil (KP) di daerah dimana coal resourcenya digunakan sebagai pemasok PLTU terdekat. Misalnya pembangunan mine mouth power plant untuk batubara berkalori rendah-sangat rendah
  3.   PLN membeli batubara dengan harga pasar sehingga perlunya menerapkan harga Patokan Batubara
  4.   PLN mengutamakan batubara dari PKP2B untuk lebih terjaminnya kelancaran pasokan batubara

Omnibus law ini akan memperburuk krisis iklim di Indonesia. Komitmen perubahan iklim pemerintahan Joko Widodo terkait target energi terbarukan 23% menjadi kebohongan besar kalau memasukkan batubara di dalamnya.

Industri batubara yang melakukan kegiatan pemanfaatan dan pengembangan akan mendapatkan perpanjangan izin sampai seumur tambang. Artinya, mereka bisa mengeruk batubara sampai habis. Kepentingan industri batubara sudah jelas banyak bermain dan diakomodir pemerintah dalam pembentukan rancangan Undang-undang ini.

RUU Cipta Kerja juga akan membebaskan keharusan membayarkan royalti untuk industri batubara yang melakukan peningkatan nilai tambah, bisa berupa proses gasifikasi dan batubara cair yang disebutkan masuk dalam energi baru dalam kerangka energi baru terbarukan. Pemerintah bahkan menjadikan batubara cair itu cara menurunkan emisi karbon sektor energi.

Karena semua kewenangan perusahaan minerba ditarik ke pemerintah pusat, kewenangan Pemerintah Provinsi di Pasal 7 dihapus. Perlu dipastikan apakah termasuk kewenangan memungut royalti dan pajak, karena jika iya maka akan merugikan daerah yang PAD nya sangat tergantung dari Pertambangan Minerba. Contoh : Timika.

3. OMNIBUS LAW TERHADAP SEKTOR PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

Omnibus Law ini menghapus banyak kewajiban penting, seperti memiliki Izin Lingkungan, membuat AMDAL, analisis risiko, pemantauan lingkungan hidup bahkan sarana pra sarana penanggulangan juga dihapus. pemerintah berencana tidak memberlakukan AMDAL dan IMB dengan dalih sudah termuat dalam rencana detail tata ruang (RDTR). AMDAL dan IMB dinilai sebagai proses yang menghambat masuknya investasi. Rozani mengaskan AMDAL dan IMB merupakan mekanisme penting yang tidak dapat dihapus. Sedangkan RDTR ditujukan untuk zonasi kawasan, bukan menganalisis dampak lingkungan yang akan muncul akibat pembangunan di suatu wilayah.

AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

AMDAL bermanfaat untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan agar layak secara lingkungan. Dengan AMDAL, suatu rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan diharapkan dapat meminimalkan kemungkinan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, dan mengembangkan dampak positif, sehingga sumber daya alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable).

Wacana pemerintah mengenai penghapusan AMDAL adalah untuk menyederhanakan birokrasi yang dinilai menghambat investasi. Jika ingin mempermudah investasi, seharusnya tidak lantas menurunkan upaya perlindungan pada lingkungan karena AMDAL punya fungsi penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan agar tetap lestari.

Jika dilihat dalam praktek nya, pemerintah kurang kontrol pada pembangunan atau monitoring pasca pembangunan investor. Kalau amdal dihapus, lantas bagaimana negara memastikan keberlanjutan lingkungan jika tidak ada dokumen AMDAL. Masalah lain yang ditimbulkan dalam penerapan amdal ini adalah dimana amdal kerap kali disalahgunakan menjadi sumber korupsi, oleh karena itu pemerintah harus mencari cara untuk memangkasnya. Namun buan amdal yang dihapus, melainkan hal-hal yang menyebabkan birokrasi dalam membuat amdal mahal harus dihapus. 

Konsideran UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjelaskan pembangunan ekonomi nasional sebagaimana mandat UUD RI 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. AMDAL merupakan salah satu instrumen untuk mengontrol pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah dan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan hidup dan masyarakat di sekitarnya.

Sebagai instrumen pengendalian ,salah satu proses yang harus dilalui dalam mekanisme AMDAL yakni melakukan konsultasi publik terhadap rencana pembangunan yang akan dilakukan. Jika masyarakat keberatan dengan pembangunan tersebut, dan berdampak buruk bagi lingkungan, dapat menjadi pertimbangan bagi komisi penilai AMDAL untuk tidak menerbitkan rekomendasi. Tapi praktiknya, hampir tidak ada AMDAL yang tidak diloloskan oleh komisi penilai amdal sekali pun ada penolakan masyarakat dan dampak buruk terhadap lingkungan. Meskipun begitu, tanpa AMDAL kerusakan lingkungan akan semakin masif.

4. OMNIBUS LAW TERHADAP KELAUTAN DAN PERIKANAN

Dalam draft RUU Cipta Lapangan Kerja ini jelas jelas tidak melibatkan pihak pihak yang terkena dampak khususnya masyarakat pesisir yang terdiri atas nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir. 

Pusat Data dan Informasi Kiara (2020) mencatat ada beberapa dampak yang akan dialami oleh masyarakat pesisir jika rancangan omnibus law ini disahkan.hal yang menjadi perhatian utama yaitu nelayan-nelayan kecil maupun nelayan tradisional yang menggunakan perahu di bawah 10 GT serta menggunakan alat tangkap ramah lingkungan dipaksa harus mengurus perizinan perikanan tangkap. Tak hanya itu, rancangan omnibus law ini menyamakan nelayan kecil dan nelayan tradisional dengan nelayan skala besar, yakni nelayan yang menggunakan perahu di atas 10 gross tonnage. Padahal nelayan kecil dan nelayan tradisional selama ini diperlakukan secara khusus sebagaimana diatur dalam pasal 27 UU Perikanan karena mereka ramah lingkungan dan tidak mengeksploitasi sumber daya perikanan.

Selanjutnya, rancangan omnibus law ini menguatkan posisi tata ruang laut, sebagaimana diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Sampai akhir 2019, sebanyak 22 provinsi telah merampungkan pembahasan peraturan daerah zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Artinya, masih ada 12 provinsi yang belum menyelesaikan pembahasan peraturan zonasi yang merupakan tata ruang lautnya.

Namun, dari 22 peraturan zonasi yang telah disahkan, ruang hidup masyarakat pesisir yang merupakan pemegang hak utama tak mendapatkan porsi yang adil. Peraturan zonasi itu harus ditolak karena sejumlah alasan. Pertama, tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Kedua, alokasi ruang hidup masyarakat pesisir sangat kecil dibandingkan dengan alokasi ruang untuk kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan, pariwisata, konservasi, dan proyek lainnya.

Pnyusunan peraturan zonasi hanya memberikan kepastian hukum untuk kepentingan pebisnis. Dengan banyaknya yang mengakomodasi proyek tambang, peraturan zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem laut. mencampuradukkan kawasan tangkap nelayan tradisional dengan kawasan pemanfaatan umum lainnya. Hal ini meningkatkan risiko nelayan ditabrak kapal-kapal besar.

Maka dari itu, masa depan masyarakat pesisir, khususnya lebih dari delapan juta rumah tangga perikanan, akan terancam. Dengan kata lain, tak ada alasan bagi masyarakat pesisir untuk menerima rancangan omnibus law yang terkait dengan kehidupan mereka.

5. OMNIBUS LAW TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN

Omnibus Law yang dinilai hanya mengutamakan investasi dan pembangunan infrastruktur, tetapi mengabaikan lingkungan. Pada sektor kehutanan, banyak RUU yang terkesan mempertaruhkan ekologi.

Naskah Akademik RUU Cipta Lapangan Kerja Menurut Pandangan MIPA

Salah satu aspek ekologi yang diubah adalah luas kawasan hutan. Pasal 18 Undang-Undangan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengalami perubahan di mana batas minimum 30 persen luas kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk setiap daerah aliran sungai dan/atau pulau ditiadakan.

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang di batasi punggung-punggung gunung dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama (Asdak, 1995). DAS termasuk suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. (PP No 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal (1).

DAS berperan penting dalam menjaga lingkungan termasuk menjaga kualitas air, mencegah banjir dan kekeringan saat musim hujan dan kemarau, mengurangi aliran massa (tanah) dari hulu ke hilir. Salah satu upaya untuk menjaga fungsi DAS adalah dengan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kondisi DAS secara teratur.

Perubahan tersebut berpotensi membuat marak kerusakan lingkungan. Sebab,dengan syarat minimal luas kawasan hutan yang saat ini saja, telah terjadi kerusakan. Ketika batas minimum kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk setiap DAS dihapus, akan seberapa luas kemungkinan kawasan hutan yang akan dipertahankan sementara pemerintah hanya terfokus kepada pembangunan dan investasi, tanpa memikirkan kemungkinan bencana alam yang terjadi dikemudian hari.

Perubahan lainnya, tanggung jawab pengelola terhadap kejadian bencana kebakaran hutan dan lahan pun berpotensi ditiadakan melalui pengubahan Pasal 49. Rancangan regulasi menyebutkan pemegang izin tidak lagi bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan di area kerjanya, tetapi hanya sebatas diwajibkan melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan.

Perubahan pasal tersebut berpotensi membuat penegakkan hukum kebakaran hutan di area perusahaan semakin tumpul. Pasal ini bisa diartikan bahwa setiap kebakaran yang terjadi di area perusahaan tidak serta merta menjadi tanggung jawab perusahaan. Lalu siapa yang akan digugat ketika hal itu terjadi

Adapun perubahan lainnya adalah Pasal 19. Dalam Omnibus law disebutkan, bahwa perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Padahal dalam Pasal 19 UU Kehutanan sebelumnya menyebutkan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini menunjukkan hilangnya partisipasi DPR dalam membuat keputusan bersama pemerintah.

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT :

Ada pembatasan akses masyarakat kepada informasi, partisipasi dan keadilan dalam pengambilan keputusanyang berpotensi memberi dampak pada lingkungan hidup. Pengawasan danpengenaan sanksi administrasi banyak yang dihapus dan tata caranya didelegasikanke peraturan pemerintah. Sanksi pidana harus didahului dengan sanksi administrasihanya berupa denda dengan batas maksimum.

Lingkungan Hidup

Ringkasan: Seluruh kewenangan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkunganhidup menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Kriteria untuk menentukan kegiatan dengan risiko tinggi di bidang lingkungan hidup terlalu abstrak. Ada pembatasan akses masyarakat kepada informasi, partisipasi dan keadilan dalam pengambilan keputusan yang berpotensi memberi dampak pada lingkungan hidup. Pengawasan dan pengenaan sanksi administrasi banyak yang dihapus dan tata caranya didelegasikan ke peraturan pemerintah. Sanksi pidana harus didahului dengan sanksi administrasi hanya berupa denda dengan batas maksimum.

Pasal 23 angka 4 Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63

  1. Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah Pusat bertugas dan berwenang: menetapkan kebijakan nasional;
  2. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
  3. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional;
  4. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;
  5. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
  6. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca;
  7. mengembangkan standar kerja sama;
  8. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
  9. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa genetik;
  10. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon;
  11. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3;
  12. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut;
  13. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;
  14. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah;
  15. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan persetujuan lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
  16. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
  17. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa;
  18. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat;
  19. menetapkan standar pelayanan minimal;
  20. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
  21. mengelola informasi lingkungan hidup nasional;
  22. mengoordinasikan, mengembangkan, dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;
  23. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
  24. mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan hidup;
  25. menerbitkan Perizinan Berusaha.
  26. menetapkan wilayah ekoregion; dan
  27. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.

Pasal 23 angka 2 Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20

(1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup.

(2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi:

  1. baku mutu air;
  2. baku mutu air limbah;
  3. baku mutu air laut
  4. baku mutu udara ambien;
  5. baku mutu emisi;
  6. baku mutu gangguan; dan
  7. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

 (3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:

  1. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
  2. mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23 angka 3 Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23

(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal merupakan proses dan kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budaya.

 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23 angka 4 Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24

(1) Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup.

(2) Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

(3) Pemerintah Pusat dalam melakukan Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat.

(4) Pemerintah Pusat menetapkan Keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan uji kelayakan lingkungan.

(5) Keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sebagai persyaratan penerbitan Perizinan Berusaha.

(6) Terhadap kegiatan yang dilakukan oleh instansi Pemerintah, keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebagai dasar pelaksanaan kegiatan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji kelayakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23 angka 18 Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39

(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup diumumkan kepada masyarakat.

(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem elektronik dan atau cara lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Pasal 23 angka 25 Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 69

Setiap orang dilarang:

  1. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
  2. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  4. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  5. membuang limbah ke media lingkungan hidup;
  6. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
  7. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau persetujuan lingkungan;
  8. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
  9. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau
  10. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.

Pasal 23 angka 27-31 Ketentuan Pasal 72 dihapus.  Ketentuan Pasal 73 dihapus. Ketentuan Pasal 74 dihapus Ketentuan Pasal 75 dihapus.  Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 76

(1) Pemerintah Pusat menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap Persetujuan Lingkungan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23 angka 35 Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.

Pasal 23 angka 37 Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 98

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun

(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

(4) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pertambangan Mineral dan Batu Bara

Ringkasan: Seluruh kewenangan perizinan pertambangan ditarik ke PemerintahPusat. Fokusnya memberikan insentif terhadap pelaku usaha yang melakukan smelting atau kegiatan pemanfaatan dan pengembangan, antara lain dalam bentukbebas DMO dan royalti 0%. Jika pelaku usaha melakukan smelting atau pemanfaatan dan pengembangan bisa diperpanjang izinnya sampai seumur tambang. Penyelesaian tumpang tindih izin dan hak atas tanah diselesaikan oleh Pusat melalui Perpres dan PP. Kontrak Karya dan PKP2B tetap dapat diperpanjang tanpa lelang. Wewenang PPNS bidang pertambangan ditambah tetapi kedudukannya berada di bawah Kepolisian.

Pasal 40 angka 3 Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

Kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, meliputi:

  1. penetapan kebijakan nasional;
  2. pembuatan peraturan perundang-undangan;
  3. penetapan norma, standar, pedoman, dan kriteria;
  4. penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional;
  5. pemberian Perizinan Berusaha terkait pertambangan mineral dan batubara di seluruh wilayah hukum pertambangan;
  6. penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah;
  7. pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan;
  8. penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi;
  9. penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat;
  10. perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan batubara;
  11. penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sebagai bahan penyusunan wilayah pertambangan;
  12. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah hukum pertambangan Indonesia;
  13. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi dan pascatambang;
  14. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara wilayah hukum pertambangan Indonesia;
  15. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan;
  16. peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan

Pasal 40 angka 13 dan 24 Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47

(1) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan terdiri atas:

  1. mineral logam;
  2. mineral bukan logam;
  3. mineral bukan logam jenis tertentu;
  4. batuan batubara.

(2) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.

(3) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral bukan logam sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.

(4) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.

(5) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan batuan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 5 (lima) tahun.

(6) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan batubara sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf e dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun 229 dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.

(7) Kegiatan Operasi Produksi yang melakukan kegiatan penambangan yang terintegrasi dengan kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan seumur tambang.

(8) Kegiatan Operasi Produksi yang melakukan kegiatan pengembangan dan pemanfaatan batubara yang terintegrasi sebagaimana diatur pada Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan seumur tambang.

(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan penambangan yang terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 83

Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi pelaku usaha pertambangan khusus meliputi:

  1. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare;
  2. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare;
  3. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral logam dan batubara diberikan berdasarkan hasil evaluasi Pemerintah Pusat terhadap rencana kerja seluruh wilayah yang diusulkan oleh pelaku usaha pertambangan khusus;
  4. jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus untuk kegiatan Eksplorasi pertambangan mineral logam dapat diberikan paling lama 8 (delapan) tahun; jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus untuk kegiatan Eksplorasi pertambangan batubara dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun;
  5. jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus untuk kegiatan Operasi Produksi mineral logam atau batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 10 (sepuluh) tahun;
  6. Jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus mineral logam untuk tahap kegiatan operasi produksi yang melaksanakan pengolahan dan pemurnian mineral logam yang terintegrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan seumur tambang;
  7. Jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus batubara untuk tahap kegiatan operasi produksi yang melaksanakan pengembangan dan pemanfatan batubara yang terintegrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan seumur tambang.

Pasal 40 angka 25 Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 102

(1) Pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya Mineral dan/atau Batubara melalui:

  1. pengolahan dan Pemurnian Mineral logam;
  2. pengolahan Mineral bukan logam;
  3. pengolahan batuan; dan/atau
  4. pengembangan dan pemanfatan batubara;

(2) Pelaku usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan dan pengembangan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat dikecualikan dari kewajiban pemenuhan kebutuhan batubara di dalam negeri.

Pasal 40 angka 30  Ketentuan Pasal 149 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 149

(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang pos diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana.

(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana;

  1. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana;
  2. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
  3. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana;
  4. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana;
  5. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana;
  6. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
  7. mengambil sidik jari dan identitas orang;
  8. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana;
  9. menyita benda yangdiduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
  10. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana;
  11. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana;
  12. menghentikan proses penyidikan;
  13. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan
  14. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.

(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia.

(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum.

Pasal 40 angka 35 Di antara Pasal 169 dan Pasal 170 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 169A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 169A

(1) Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara:

  1. yang belum memperoleh perpanjangan dapat diperpanjang menjadi Perizinan Berusaha terkait Pertambangan Khusus perpanjangan pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang setelah berakhirnya kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dengan mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara; dan
  2. yang telah memperoleh perpanjangan pertama dapat diperpanjang menjadi Perizinan Berusaha terkait Pertambangan Khusus perpanjangan kedua sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang setelah berakhirnya perpanjangan pertama kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dengan mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara.

(2) Peningkatan penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Perizinan Berusaha terkait Pertambangan Khusus perpanjangan sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dilakukan dengan:

  1. pengaturan kembali pengenaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak;
  2. pemberian luas wilayah sesuai dengan rencana kegiatan pada seluruh wilayah perjanjian yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat sebelum UndangUndang ini berlaku;
  3. kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pertanian dan Perkebunan

Ringkasan: Seluruh kewenangan perizinan perkebunan ditarik ke Pemerintah Pusat.Menghapus banyak kewajiban penting (termasuk sanksinya) seperti memiliki Izin Lingkungan, membuat AMDAL, analisis risiko, pemantauan lingkungan hidup, bahkan penyediaan sarana-prasarana penanggulangan kebakaran juga dihapus. Batas waktu mengusahakan kebun 30% dalam 3 tahun dan 100% dalam 6 tahun dihapus. Kewajiban plasma 20% dihapus, tidak ada batas minimalnya lagi. Dana yang dihimpun BPDPKS bisa disalurkan untuk subsidi biodiesel.

Pasal 30 angka 1 Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Pemerintah Pusat menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha Perkebunan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batasan luas diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 30 angka 2 mengenai perubahan terhadap Pasal 15 UU Perkebunan 1 dihapus.

Pasal 30 angka 3 mengenai perubahan terhadap Pasal 16 UU Perkebunan dihapus.

Pasal 30 angka 14 mengenai perubahan terhadap Pasal 45 UU Perkebunan dihapus

Pasal 30 angka 19 mengenai perubahan terhadap Pasal 58 UU Perkebunan dihapus

Pasal 30 angka 24 mengenai perubahan terhadap Pasal 68 UU Perkebunan dihapus

Pasal 30 angka 29 Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 93

(1) Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara.

(2) Pembiayaan penyelenggaraan Perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.

(3) Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha Perkebunan bersumber dari penghimpunan dana Pelaku Usaha Perkebunan, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan dana lain yang sah.

(4) Penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi Perkebunan, peremajaan Tanaman Perkebunan, sarana dan prasarana Perkebunan, pengembangan perkebunan, dan/atau pemenuhan hasil Perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati, dan hilirisasi Industri Perkebunan.

(5) Dana yang dihimpun oleh pelaku usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikelola oleh badan pengelola dana perkebunan, yang berwenang untuk menghimpun, mengadministrasikan, mengelola, menyimpan, dan menyalurkan dana tersebut.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dan badan pengelola dana perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 30 angka 30 Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 95

 (1) Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Perkebunan melalui penanaman modal.

 (2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

Pasal 30 angka 34 Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 102

(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang perkebunan diberi 152 wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana.

(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:

  1. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana;
  2. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana;
  3. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
  4. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana;
  5. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana;
  6. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana;
  7. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
  8. mengambil sidik jari dan identitas orang;
  9. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana;
  10. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
  11. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana;
  12. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana;
  13. menghentikan proses penyidikan;
  14. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan
  15. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.

(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia.

(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum.

Kelautan dan Perikanan

Ringkasan: Dalam draft RUU Cipta Kerja ini terdapat satu hal yang menjadi perhatianutama yaitu definisi Nelayan Kecil yang diperluas menjadi Nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, biak yang tidak menggunakan kapal maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan, Perluasan definisi berpotensi nelayan dengan kapal dengan muatan besar (Nelayan bermodal besar) untuk masuk dalam klasifikasi nelayan kecil. Sehingga nelayan bermodal ini akan mendapatkan perlakuan khusus sebagai nelayan kecil.

Pasal 28 ayat 1 Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 24, dan angka 26 diubah serta angka 16, angka 17, dan angka 18 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan

  1. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
  2. Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan.
  3. Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya
  4. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
  5. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
  6. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
  7. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundangundangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
  8. Konservasi Sumber Daya Ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan.
  9. Kapal Perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan.
  10. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
  11. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan  kapal penangkap Ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan.
  12. Pembudi Daya Ikan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan.
  13. Pembudi Daya-Ikan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
  14. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
  15. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum
  16. Dihapus
  17. Dihapus.
  18. Dihapus.
  19. Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
  20. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.
  21. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang selanjutnya disingkat ZEEI adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undangundang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.
  22. Laut Lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.
  23. Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas 123 tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
  24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perikanan.
  25. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
  26. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

Kehutanan

Ringkasan: Penyelesaian tumpang tindih kawasan diatur oleh Pusat melalui Perpres.Batas minimum 30% kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk setiap DAS dan/atau pulau dihapus. Pemegang izin tidak lagi bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan di areal kerjanya, melainkan hanya diwajibkan melakukan upaya pencegahan dan pengendalian. PPNS bidang kehutanan wewenangnya ditambah tetapi kedudukannya berada di bawah Kepolisian.

Pasal 37 angka 3 Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Pemerintah Pusat menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan/atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.

(2) Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis DAS dan/atau pulau.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 37 angka 4 Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19

(1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu.

(2) Ketentuan mengenai tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 37 angka 13 Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35

(1) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak dibidang kehutanan.

(2) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan.

(3) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemungutan hasil hutan hanya dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak dibidang kehutanan berupa provisi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 37 angka 16  Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49

Pemegang hak atau Perizinan Berusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di areal kerjanya.

BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Dengan adanya RUU Cipta Lapangan Kerja yang telah dijelaskan di bab sebelumnya banyak sekali ketidaksinambungan dan ketidaksesuaian terhadap undang-undang sebelumnya serta ditemukan pasal pasal yang masih abstrak. Dengan ini, berdasarkan analisis dan hasil diskusi setuju bahwa Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja merugikan lingkungan hidup di masa yang akan datang. Sehingga kami, Saintis Muda FMIPA UM yang peduli terhadap regulasi hukum Indonesia dan lingkungan hidup menyatakan penolakan terhadap pembahasan RUU cipta lapangan kerja lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang Undangan :

  • Salinan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56/PMK.02/2006 tentang Tata Cara Pembayaran Domestic Market Obligation Fee dan Over Under Lifting di Sektor Minyak dan Gas Bumi.
  • RUU Cipta Lapangan Kerja_Bookmarked.pdf
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Jurnal :

  • Taufiq, Muchammad, Kedudukan dan Prosedur Amdal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  • Fitryantica, Agnes, Harmonisasi Peraturan Perundang Undangan Indonesia Melalui Konsep Omnibus Law.
  • Alim NA, Nur, Pro Kontra Penerapan Omnibus Law dan Solusinya.

Artikel :

  • https://unpak-ac.id/id/berita/omnibus-law-menuju-hukum-ramah-investasi

Situs Web :

  • Sipongi.menlhk.go.id.
  • Icel.co.id.
  • Situs Berita Lingkungan Mongabay.
  • kolom.tempo.co/read/12893/dampak-omnibuslaw-terhadap-masyarakat-pesisir.

Lain-Lain :

  • Penjelasan Lengkap Omnibus Law.pdf
  • Konsep Awal Omnibus Law.pdf
Air Jordan 1 Blue Chill Womens CD0461 401 Release Date 4 | Nike Release Dates