Pemantik : Fadhil
Fathurochman (Presma BEM FMIPA UM)
Moderator : Urbach
Aisa Kemal (Sekmen Riset&Teknologi BEM FMIPA UM 2020)
Ringkasan Diskusi :
Mengenai pembahasan di media sosial bahwa “terpidana
kasus korupsi” akan dibebaskan nyatata belum sepenuhnya benar. Hal tersebut
masih menjadi tanda tanya sebab Bapak Yosonna Laoly selaku Meteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia mengklarifikasi mengenai pernyataan yang ia gugat dengan
klarifikasi bahwa itu baru usulan saja.
Bapak Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum dan Keamananan menyatakan bahwa “Sampai sekarang pemerintah
tidak merencanakan mengubah / merevisi PP no 99 tahun 2012”
Pemantik juga mengatakan bahwa ia setuju dengan keputusan
yang memberi remisi / kebebasan bersyarat kepada para pelaku tindak pidana umum
sebanyak 30 ribu narapidana dengan alasan bahwa ruang sel yang ditempati kumuh
dan sempit serta para terpidana tindak pidana umum harus bergantian tidur
karena ruangan sempit yang ditempati lebih dari kapasitas selnya dan juga
masalah kesehatan juga yang dipertimbangan dengan adanya covid-19 ini. Namun,
pemantik (pemantik memakai sumber dari video najwa shihab) tidak setuju jika
para narapidana korupsi, narkoba, dan terorisme di bebaskan sesaui karena sel
yang di tempati cukup luas dan ada beberapa ruang sel yang satu kamar bisa satu
orang saja, maka alasan yang di pakai untuk membebaskan para terpidana kasus korupsi dengan
mempertimbangkan kesehatan akibat dari covid-19 ini tidak cocok jika di peruntukan
untuk mereka.
Gagasan oleh Pak Yasonna tentang 2/3 masa tahanan dan
diatas 60 tahun pada para narapidana korupsi juga tidak efektif. Mengingat
ayahanda Setnov pasti bisa keluar dengan gagasan ini. Namun juga ada syarat2nya
yaitu menyelesaikan masalah perkara dan membongkar tentang perkata, membayar
denda dan sudah 2/3 masa tahanan serta mendapat izin dari direktur jendral kesehatan.
Dari pemantik juga mengatakan bahwa Yasonna mengaku
telah mengantongi lampu hijau, jika ini bisa terealisasikan. (mungkin adanya
jalur kepentingan).
Kesimpulan ;
Belum
adanya konfirmasi yang jelas menganai hal ini dari pemerintah.
Sepakat
dengan keputusan yang memberi remisi / kebebasan bersyarat kepada para pelaku
tindak pidana umum sebanyak 30 ribu narapidana dengan alasan bahwa ruang sel
yang ditempati kumuh dan sempit serta para terpidana tindak pidana umum harus
bergantian tidur karena ruangan sempit yang ditempati lebih dari kapasitas
selnya dan juga masalah kesehatan juga yang dipertimbangan dengan adanya
covid-19 ini. Namun, tidak setuju jika para narapidana korupsi, narkoba, dan
terorisme di bebaskan sesaui karena sel yang di tempati cukup luas dan ada
beberapa ruang sel yang satu kamar bisa satu orang saja, maka alasan yang di pakai
untuk membebaskan para terpidana kasus
korupsi dengan mempertimbangkan kesehatan akibat dari covid-19 ini tidak cocok
jika di peruntukan untuk mereka.
Pertanyaan :
1. Dari @prasettiuul “Adakah pengawasan pembatasan aktivitas bagi napi yang akan bebas?”
Jawaban pemantik : Ini masih sebuah keputusan yang belum dilakukan atau beberapa sudah melakukan. Tapi yang dilakukan saat ini mereka monitoring saja, dan orang ini dibebaskan namun ada asimilasi.
2. Dari @muhammadarifw “ Apakah suatu kebijakan pembebasan napi ini menandakan bahwa negara ini belum siap secara infrastuktur maupun strategi melawan pandemic ini?
Jawaban pemantik : Untuk infrastruktur sangat kurang, dari 200ribu yg terkena tindak pidana kita hanya bisa menampung 170ribu orang. Bisa dilihat diyoutube/video2 bahwa satu kamar sel bisa 30 orang. Sangat jelas, infrastruktur sangat kurang dan kesehatanpun bisa dipertanyakan.
3. Dari @bargazi.th : “Bagaimana pernyataan menkopolhukam Bapak Mahfud MD yang menyatakan tidak akan membebaskan napi koruptor?”
Jawaban pemantik : pernyataan Bapak Yasonna Laoly masih mengambang, yang ia ambil dari pernyataan sangat kompleks dari tindak pidana umum dan sebagainya. Dari tahun 2015 Bapak Yohannes sudah mengusulkan untuk merevisi PP no 99 tahun 2012 dan sekarang dilakukan kambali. Dari Bapak Mahfud MD menerangkan bahwa sampai sekarang pemerintah tidak merencakan atau merevisi PP no 99 tahun 2012.
4.Dari @prasettiuul :“Jika pembebasan napi ini kurang efektif untuk mengurangi pencegahan pandemic ini. Lalu bagaimana langkah solutif menurut anda menimbang memang lapas yang sangat membeludak?”
Jawaban pemantik : saya sepakat dengan keputusan mentri bahwa akan melepaskan 30-35ribu napi namun tidak dengan napi tindak pindah terorisme, korupsi dan narkotika.
5. Dari @dianvitanf : “Diberita, sekarang banyak warga yg ditangkap karena tidak pathuh dengan protocol covid-19. Apakah lapas sekarang yg seharusnya digunakan untuk memenjarakan napi justru digunakan untuk penjara rakyat?
Jawaban pemantik : kita sama-sama terkurung karena harus mengisolasi diri.
6. Dari @yohannes16 : “Untuk pembebasan pengedar narkoba, bukankah menjadi bahaya? Karena masih ada kemungkinan koneksi antar pengedar masih terus berlanjut.
Jawaban pemantik : Jadi dalam PP no 29 tahun 2012 dijelaskan bahwa itu menyangkut tidak korupsi, narkotika dan terorisme.
7. Dari @sptnar : “Bedanya lockdown sama karantina wilayah itu apa?”
Jawaban pemantik : kalau lockdown kita terkunci, tapi pemerintah memberikan subsisdi berupa uang, logistic untuk lockdown ini. Sedangkan kalau karantina wilayah kita masih bia mengerjakan kegiatan kita sehari-hari tetapi dengan sosial distancing atau physical distancing tetapi pemerintah tidak memberikan subsidi (ada yg memberikan subsidi namun dari gurbernur atau walikotanya masing-masing).
8. Dari @@prasettiuul : “Cara mencegah agar mencegah penyebaran pamdemi ini?”
Jawaban pemateri : tips dari pemantik : menjalan
kehidupan seperti biasa namun tetap waspada. Ketika batuk atau lain-lain
langsung minum obat, dan langsung pakai masker.
Kasus
virus Corona Covid-19 telah mewabah di berbagai belahan dunia. Terbaru,
Indonesia mengonfirmasi dua kasus infeksi virus ini telah terjadi. Hingga Senin
(2/3/2020), tercatat lebih dari 89.000 kasus infeksi Covid-19 di dunia dengan
lebih dari 3.000 kasus kematian (dikutip dari kompas.com). Untuk
diketahui, virus ini dapat menyebar ketika partikel virus pada orang yang sakit
masuk ke dalam orang yang sehat. Ketika Sobat EDUKASI melihat orang batuk,
bersin, atau sakit, Sobat EDUKASI menjaga jarak, dengan jarak 50 sentimeter
sampai 2 meter untuk menjaga agar tetap aman dari jangkauan partikel virus yang
besar.
Perlu
diingat, orang yang memakai masker mungkin tidak sakit, dia mungkin hanya
sedang melindungi diri. Meskipun begitu, terkadang air liur orang yang sakit,
dapat menempel pada tangan mereka, gagang pintu, bolpoin, mouse,
pegangan kereta, tisu, gelas, sumpit, tombol lift, pegangan tangga, bahkan di
bagian luar masker yang dapat menularkan virus Corona. Jika Sobat EDUKASI tidak
sengaja menyentuh benda-benda tersebut, lalu kemudian menyentuh wajah sendiri
atau bahkan wajah orang-orang terdekat, semua bisa jatuh sakit, karena virus
ini dapat menempel pada permukaan benda lebih dari 24 jam.
Oleh
karena itu, yuk sebaiknya ikuti lima langkah ala Sobat EDUKASI dalam melakukan
pencegahan terhadap virus Corona :
Jangan menyentuh wajah sendiri atau wajah orang lain
Jika memang
harus, yuk cuci tangan dengan sabun secara menyeluruh (cuci tangan sampai
siku), cuci bagian belakang telapak, sela-sela jari, bagian bawah kuku dengan
durasi kurang lebih 20 detik atau durasi yang sama saat bernyanyi Selamat
Ulang Tahun sebanyak dua kali
Pakai masker! Lalu buang masker setelah merasa kotor
Jangan sampai
digunakan sampai seharian lebih ya Sobat EDUKASI! Karena, bakteri dapat
berkembang biak di dalam masker jika dipakai terlalu lama. Usahakan jangan
sampai menyentuh di bagian luar masker, kalaupun terlanjur segeralah cuci
tangan dengan sabun!
Jangan berbagi
alat makan, gelas, maupun handuk
Sobat EDUKASI
wajib memiliki handuk sendiri-sendiri yaa!! Jangan bergantung dengan orang
lain, apalagi bergantian menggunakan sendok saji untuk mengambil makanan
Siku pasti tidak akan menyentuh wajah walau dicoba loh.
Coba Sobat EDUKASI buktikan! Hal ini merupakan salah satu pencegahan
virus-virus yang menempel pada gagang pintu
Selalu cuci
tangan dengan sabun yaa!
Jangan lupa
membawa hand wash kemana-mana ya Sobat EDUKASI! Selalu ingat untuk
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, apalagi setelah berpergian ke tempat
umum. Yuk biasakan dengan pola hidup sehat!
Selain melakukan lima pencegahan
untuk terhindar dari virus Corona, Sobat EDUKASI jangan sampai abai dengan
kesehatan diri. Bagi mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah,
orang lanjut usia, dan anak-anak kecil, ada kemungkinan virus dapat menyebabkan
penyakit saluran pernapasan yang lebih serius seperti pneumonia atau bronkitis.
Karena, ciri-ciri gejala penyakit virus Corona mirip dengan flu biasa, pilek,
batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam yang bisa berlangsung
beberapaa hari.
Berapa lama masa inkubasi? Periode
karantina virus Corona adalah 14 hari dari tanggal paparan terakhir karena 14
hari adalah periode inkubasi terpanjang yang terlihat untuk penyakit serupa.
Untuk itu, kesadaran Sobat EDUKASI merupakan kunci. Jika sakit dan memiliki
alasan untuk meyakini bahwa itu adalah virus Corona, Sobat EDUKASI harus
memberi tahu penyedia layanan kesehatan dan mencari pengobatan lebih awal. Jaga
Kesehatan yaa!! (anl) 😊
Pembahasan mengenai Omnibus Law semakin
marak di perbincangkan di berbagai lapisan masyarakat. Dimulai dari pidato
Presiden Jokowi setelah dirinya dilantik menjadi presiden pada tanggal 20
Oktober 2019 lalu. Menurut Hendra Soenardi tujuan dibentuknya Omnibus Law
adalah sebagai solusi untuk megatasi rumitnya birokrasi instansi pemerintah
yang memunculkan ketidakpuasan investor.
Produk dari Omnibus Law terdiri dari UU
Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan. Secara garis besar, Omnibus Law
memiliki fungsi untuk menstandarisasi produk hukum bermasalah di beberapa
kebijakan sektoral seperti pembangunan ekonomi dan investasi.
Penerapan omnibus law dianggap tidak
sejalan dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang perundang-undangan. Penerapan
omnibus law akan melemahkan posisi pemerintah daerah dan buruh karena
terjadinya sifting pemerintah pusat dan bisnis akan menjadi lebih kuat.
Menanggapi draft RUU Cipta Lapangan Kerja
yang beredar di masyarakat tersebut nampaknya membawa polemik baru. Omnibus Law
berisi 79 UU dengan 1.244 pasal yang terdiri dari 11 kluster. Dari 11 kluster
ini yang paling berdampak di lingkungan adalah kluster 9 mengenai Pengadaaan
Lahan.
Terlebih lagi RUU Cipta Lapangan Kerja
yang disusun dengan pendekatan Omnibus Law di sinyalir akan melemahkan
penegakan hukum lingkuangan yang telah diatur dalam UU No 32 tahun 2009 Tentang
perlindungan dan Pengelolaan lingkuan hidup. RUU Cipta Lapangan Kerja berupa
melemahkan beberapa ketentuan seperti pengawasan,penegakan,hukum perdata, dan
pidana lingkungan hidup.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun
identifikasi masalah yang akan dikaji dalam Naskah Akademik RUU Cipta Lapangan
Kerja mengenai Lingkungan Hidup yang termuat dalam kluster 9 , meliputi :
Permasalahan
apa yang dihadapi dalam pelaksanaan RUU Cipta Lapangan Kerja bagi lingkungan
hidup.
Apakah
yang menjadi dasar penolakkan terhadap RUU Cipta Lapangan Kerja
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK.
Tujuan
penyusunan Naskah Akademik Penolakan RUU Cipta Lapangan Kerja yaitu :
Merumuskan
permasalahan dan kerugian apa yang ditimbulkan dari RUU Cipta Lapangan Kerja
ditinjau dari aspek :
Lingkungan
Hidup
Pertambangan
Minerba
Perikanan
Kelautan
Perkebunan
Kehutanan
Perubahan
ketentuan penegakkan hukum yang sebelumnya dimuat dalam UU NO 32 Tahun 2009
dilakukan tanpa adanya evaluasi yang komprehensif terhadap pelaksanaan
penegakkan hukum lingkungan di Indonesia dan lebih banyak merugikan masyarakat
. alasan perubahan juga tidak didukung oleh kajian dan praktik yang kuat.
D. METODE
Metode
penyusunan Naskah Akademik Penolakkan RUU Cipta Lapangan Kerja adalah dengan
Konsolidasi Terbuka bersama Warga FMIPA Universitas Negeri Malang dan metode
pengkajian studi pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KAJIAN TEORITIS
OMNIBUS LAW TERHADAP PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup atau PPLH yang kita ketahui diatur dalam UU NO 32 Tahun 2009
dimana Polri/ PPNS serta badan yang berwenang dalam hal ini bisa melakukan
pengawasan dan penindakan terhadap Lingkungan Hidup tanpa harus diserahkan ke
pemerintah pusat. Dengan adanya Omnibus Law ini, pengawasan, perlindungan
terhadap lingkungan hidup dan penindakan hukum perdata atau pidana bagi
pelanggar yang merugikan lingkungan hidup terancam dilemahkan atau dikaburkan.
Seluruh kewenangan bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat. Jika dilihat dari sisi masyarakat, penunjukkan subjek hanya “Pemerintah
Pusat” berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan birokrasi. Kewenangan
Instansi berpotensi lebih mudah diubah karena hanya diatur dalam level
peraturan pemerintah. Selain itu, akses masyarakat terhadap informasi, partisipasi
publik dan keadilan terhadap persetujuan ini semakin sulit . Contohnya, ketika
di daerah pemukiman warga akan didirikan pabrik, ada pembatasan akses
masyarakat untuk berpartisipasi dalam keadilan pengambilan keputusan karena
persetujuan membuang limbah ke media lingkungan harus mendapat persetujuan
Pemerintah pusat yang bukan tidak mungkin pemerintah akan mudah menyetujuinya,
padahal dampak ke kedepannya akan dirasakan oleh masyarakat sekitar pabrik
tersebut.
Permasalahan yang juga menjadi
sorotan dalam konteks ini yaitu pengawasan dan pengenaan sanksi administrasi
banyak dihapuskan, tindak materil diubah menjadi peningkatan sanksi
administrasi denda terlebih dahulu. Lalu bagaimana dengan pencemaran/ kerusakan
yang kompleks sehingga berdampak pada bencana besar dan bagaimana penerapan
sanksi administrasi diterapkan sementra izin lingkungan sendiri dihapuskan? Hal
ini juga membatasi sanksi administrasi yang hanya berupa denda padahal
sebelumnya ada pilihan paksaan pemerintah yang lebih efisien untuk segera menghentikan
pelanggaran yang menimbulkan pencemaran/ kerusakan lingkungan hidup
Pengawasan dan pengenaan sanksi
administrasi atas pelanggaran bidang lingkungan hidup diamputasi dengan
menghapuskan pasal 72-75 serta mengubah pasal 76. dalam hal ini, tidak ada lagi
ketegasan dalam UU tentang instansi yang bertanggungjawab dalam pegawasan
Lingkungan Hidup, kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan jenis sanksi
administrasi.
2. OMNIBUS LAW TERHADAP PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA.
Omnibus Law disini terfokus
memberikan intensif terhadap pelaku usaha/ pemilik tambang yang melakukan smelting
(pengolahan dan pemurnian mineral, termasuk batu bara) antara lain
diberlakukannya bebas DMO dan royalti 0% . Jika pelaku usaha atau pemilik
tambang ini melakukan smelting akan diberi jangka waktu 30 tahun dan
dapat diperpanjang sampai seumur tambang.
DMO sendiri merupakan Domestic
Market Obligation yaitu, kewajiban Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap
untuk menyerahkan sebagian minyak dan gas bumi dari bagiannya kepada negara
melalui Badan Pelaksana dalam rangka penyediaan minyak dan gas bumi untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri yang besarnya diatur dalam Kontrak Kerja Sama
(biasanya cenderung dihargai lebih murah).
Dalam
omnibus law ini ketetapan DMO akan di hapuskan menimbang banyak perusahaan
tambang yang tidak mencapai target minimal. Meskipun begitu, tidak seharusnya
DMO dihapuskan karena PLN masih memenuhi kebutuhan pasokan batubara nya lewat
pertambangan di Indonesia serta pengutamaan pemasokkan kebutuhan mineral dan
batubara untuk kepentingan dalam negeri.
Masih
ada solusi untuk mengatasi tantangan mengenai DMO tersebut selain
menghapuskannya, seperti :
Melakukan
perubahan spesifikasi batubara PLTU percepatan dan dibuat range spesifikasi
batubara(Kalori,belerang,kadar air) serta dibangunnya fasilitas coal
blending
Pembangunan
dan penempatan PLTU batubara skala kecil harus parallel dengan pemetaan coal resource
pelaku usaha kecil (KP) di daerah dimana coal resourcenya digunakan sebagai
pemasok PLTU terdekat. Misalnya pembangunan mine mouth power plant
untuk batubara berkalori rendah-sangat rendah
PLN
membeli batubara dengan harga pasar sehingga perlunya menerapkan harga Patokan
Batubara
PLN
mengutamakan batubara dari PKP2B untuk lebih terjaminnya kelancaran pasokan
batubara
Omnibus law ini akan memperburuk krisis iklim di Indonesia. Komitmen perubahan
iklim pemerintahan Joko Widodo terkait target energi terbarukan 23% menjadi
kebohongan besar kalau memasukkan batubara di dalamnya.
Industri batubara yang melakukan
kegiatan pemanfaatan dan pengembangan akan mendapatkan perpanjangan izin sampai
seumur tambang. Artinya, mereka bisa mengeruk batubara sampai habis.
Kepentingan industri batubara sudah jelas banyak bermain dan diakomodir
pemerintah dalam pembentukan rancangan Undang-undang ini.
RUU Cipta Kerja juga akan membebaskan
keharusan membayarkan royalti untuk industri batubara yang melakukan
peningkatan nilai tambah, bisa berupa proses gasifikasi dan
batubara cair yang disebutkan masuk dalam energi baru dalam kerangka energi
baru terbarukan. Pemerintah bahkan menjadikan batubara cair itu cara menurunkan
emisi karbon sektor energi.
Karena semua kewenangan perusahaan
minerba ditarik ke pemerintah pusat, kewenangan Pemerintah Provinsi di Pasal 7
dihapus. Perlu dipastikan apakah termasuk kewenangan memungut royalti dan
pajak, karena jika iya maka akan merugikan daerah yang PAD nya sangat
tergantung dari Pertambangan Minerba. Contoh : Timika.
3. OMNIBUS LAW TERHADAP SEKTOR PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
Omnibus Law ini menghapus banyak kewajiban penting,
seperti memiliki Izin Lingkungan, membuat AMDAL, analisis risiko, pemantauan
lingkungan hidup bahkan sarana pra sarana penanggulangan juga dihapus.
pemerintah berencana tidak memberlakukan AMDAL dan IMB dengan dalih sudah
termuat dalam rencana detail tata ruang (RDTR). AMDAL dan IMB dinilai sebagai
proses yang menghambat masuknya investasi. Rozani mengaskan AMDAL dan IMB merupakan
mekanisme penting yang tidak dapat dihapus. Sedangkan RDTR ditujukan untuk
zonasi kawasan, bukan menganalisis dampak lingkungan yang akan muncul akibat
pembangunan di suatu wilayah.
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan
keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan).
AMDAL bermanfaat untuk menjamin
suatu usaha atau kegiatan pembangunan agar layak secara lingkungan. Dengan AMDAL, suatu rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan
diharapkan dapat meminimalkan kemungkinan dampak negatif terhadap lingkungan
hidup, dan mengembangkan dampak positif, sehingga sumber daya alam dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable).
Wacana pemerintah mengenai penghapusan
AMDAL adalah untuk menyederhanakan birokrasi yang dinilai menghambat investasi.
Jika ingin mempermudah investasi, seharusnya tidak lantas menurunkan upaya
perlindungan pada lingkungan karena AMDAL punya fungsi penting dalam menjaga
keberlanjutan lingkungan agar tetap lestari.
Jika
dilihat dalam praktek nya, pemerintah kurang kontrol pada pembangunan atau monitoring
pasca pembangunan investor. Kalau amdal dihapus,
lantas bagaimana negara memastikan keberlanjutan lingkungan jika tidak ada
dokumen AMDAL. Masalah lain yang ditimbulkan dalam penerapan amdal ini adalah
dimana amdal kerap kali disalahgunakan menjadi sumber korupsi, oleh karena itu
pemerintah harus mencari cara untuk memangkasnya. Namun buan amdal yang
dihapus, melainkan hal-hal yang menyebabkan
birokrasi dalam membuat amdal mahal harus dihapus.
Konsideran UU
No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
menjelaskan pembangunan ekonomi nasional sebagaimana mandat UUD RI 1945
diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. AMDAL merupakan salah satu instrumen untuk mengontrol pembangunan
yang dilakukan di suatu wilayah dan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan
hidup dan masyarakat di sekitarnya.
Sebagai instrumen pengendalian ,salah satu proses yang
harus dilalui dalam mekanisme AMDAL yakni melakukan konsultasi publik terhadap
rencana pembangunan yang akan dilakukan. Jika masyarakat keberatan dengan
pembangunan tersebut, dan berdampak buruk bagi lingkungan, dapat menjadi
pertimbangan bagi komisi penilai AMDAL untuk tidak menerbitkan rekomendasi.
Tapi praktiknya, hampir tidak ada AMDAL yang tidak diloloskan oleh komisi
penilai amdal sekali pun ada penolakan masyarakat dan dampak buruk terhadap
lingkungan. Meskipun begitu, tanpa AMDAL kerusakan lingkungan akan semakin
masif.
4. OMNIBUS LAW TERHADAP KELAUTAN DAN PERIKANAN
Dalam draft RUU Cipta Lapangan Kerja ini jelas jelas
tidak melibatkan pihak pihak yang terkena dampak khususnya masyarakat pesisir
yang terdiri atas nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan,
petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir.
Pusat Data dan Informasi Kiara (2020) mencatat ada
beberapa dampak yang akan dialami oleh masyarakat pesisir jika rancangan
omnibus law ini disahkan.hal yang menjadi perhatian utama yaitu nelayan-nelayan
kecil maupun nelayan tradisional yang menggunakan perahu di bawah 10 GT serta
menggunakan alat tangkap ramah lingkungan dipaksa harus mengurus perizinan
perikanan tangkap. Tak hanya itu, rancangan omnibus law ini menyamakan nelayan
kecil dan nelayan tradisional dengan nelayan skala besar, yakni nelayan yang
menggunakan perahu di atas 10 gross tonnage. Padahal nelayan kecil dan nelayan
tradisional selama ini diperlakukan secara khusus sebagaimana diatur dalam
pasal 27 UU Perikanan karena mereka ramah lingkungan dan tidak mengeksploitasi
sumber daya perikanan.
Selanjutnya, rancangan omnibus law ini menguatkan posisi
tata ruang laut, sebagaimana diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Sampai akhir 2019, sebanyak 22 provinsi telah
merampungkan pembahasan peraturan daerah zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil. Artinya, masih ada 12 provinsi yang belum menyelesaikan pembahasan
peraturan zonasi yang merupakan tata ruang lautnya.
Namun, dari 22 peraturan zonasi yang telah disahkan,
ruang hidup masyarakat pesisir yang merupakan pemegang hak utama tak
mendapatkan porsi yang adil. Peraturan zonasi itu harus ditolak karena sejumlah
alasan. Pertama, tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama
pengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Kedua, alokasi ruang hidup
masyarakat pesisir sangat kecil dibandingkan dengan alokasi ruang untuk
kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan, pariwisata,
konservasi, dan proyek lainnya.
Pnyusunan peraturan zonasi hanya memberikan kepastian
hukum untuk kepentingan pebisnis. Dengan banyaknya yang mengakomodasi proyek
tambang, peraturan zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem laut.
mencampuradukkan kawasan tangkap nelayan tradisional dengan kawasan pemanfaatan
umum lainnya. Hal ini meningkatkan risiko nelayan ditabrak kapal-kapal besar.
Maka dari itu, masa depan masyarakat pesisir, khususnya
lebih dari delapan juta rumah tangga perikanan, akan terancam. Dengan kata
lain, tak ada alasan bagi masyarakat pesisir untuk menerima rancangan omnibus
law yang terkait dengan kehidupan mereka.
5. OMNIBUS LAW TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN
Omnibus Law yang dinilai hanya mengutamakan investasi dan pembangunan
infrastruktur, tetapi mengabaikan lingkungan. Pada sektor kehutanan, banyak RUU
yang terkesan mempertaruhkan ekologi.
Salah
satu aspek ekologi yang diubah adalah luas kawasan hutan. Pasal 18
Undang-Undangan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengalami perubahan di
mana batas minimum 30 persen luas kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk
setiap daerah aliran sungai dan/atau pulau ditiadakan.
Daerah
Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang di batasi punggung-punggung gunung
dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung
gunung tersebut dan akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama
(Asdak, 1995). DAS termasuk suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara
alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut
sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. (PP No
37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal (1).
DAS
berperan penting dalam menjaga lingkungan termasuk menjaga kualitas air,
mencegah banjir dan kekeringan saat musim hujan dan kemarau, mengurangi aliran
massa (tanah) dari hulu ke hilir. Salah satu upaya untuk menjaga fungsi DAS
adalah dengan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kondisi DAS secara
teratur.
Perubahan
tersebut berpotensi membuat marak kerusakan lingkungan. Sebab,dengan syarat
minimal luas kawasan hutan yang saat ini saja, telah terjadi kerusakan. Ketika
batas minimum kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk setiap DAS dihapus,
akan seberapa luas kemungkinan kawasan hutan yang akan dipertahankan sementara
pemerintah hanya terfokus kepada pembangunan dan investasi, tanpa memikirkan
kemungkinan bencana alam yang terjadi dikemudian hari.
Perubahan
lainnya, tanggung jawab pengelola terhadap kejadian bencana kebakaran hutan dan
lahan pun berpotensi ditiadakan melalui pengubahan Pasal 49. Rancangan regulasi
menyebutkan pemegang izin tidak lagi bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan
di area kerjanya, tetapi hanya sebatas diwajibkan melakukan upaya pencegahan
dan pengendalian kebakaran hutan.
Perubahan
pasal tersebut berpotensi membuat penegakkan hukum kebakaran hutan di area
perusahaan semakin tumpul. Pasal ini bisa diartikan bahwa setiap kebakaran yang
terjadi di area perusahaan tidak serta merta menjadi tanggung jawab perusahaan.
Lalu siapa yang akan digugat ketika hal itu terjadi
Adapun perubahan lainnya adalah Pasal 19. Dalam Omnibus
law disebutkan, bahwa perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi
kawasan hutan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Padahal dalam Pasal 19 UU Kehutanan sebelumnya
menyebutkan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh
Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini
menunjukkan hilangnya partisipasi DPR dalam membuat keputusan bersama
pemerintah.
BAB
III
EVALUASI
DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT :
Ada
pembatasan akses masyarakat kepada informasi, partisipasi dan keadilan dalam
pengambilan keputusanyang berpotensi memberi dampak pada lingkungan hidup.
Pengawasan danpengenaan sanksi administrasi banyak yang dihapus dan tata
caranya didelegasikanke peraturan pemerintah. Sanksi pidana harus didahului
dengan sanksi administrasihanya berupa denda dengan batas maksimum.
Lingkungan
Hidup
Ringkasan: Seluruh kewenangan
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkunganhidup menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Kriteria untuk
menentukan kegiatan dengan risiko tinggi di bidang lingkungan hidup terlalu
abstrak. Ada pembatasan akses masyarakat kepada informasi, partisipasi dan
keadilan dalam pengambilan keputusan yang berpotensi memberi dampak pada
lingkungan hidup. Pengawasan dan pengenaan sanksi administrasi banyak yang
dihapus dan tata caranya didelegasikan ke peraturan pemerintah. Sanksi pidana
harus didahului dengan sanksi administrasi hanya berupa denda dengan batas
maksimum.
Pasal 23 angka 4 Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
63
Dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah Pusat bertugas dan berwenang:
menetapkan kebijakan nasional;
menetapkan norma,
standar, prosedur, dan kriteria;
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional;
menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai KLHS;
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
menyelenggarakan
inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca;
mengembangkan standar
kerja sama;
mengoordinasikan dan
melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati,
keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa
genetik;
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak perubahan iklim dan
perlindungan lapisan ozon;
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3;
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut;
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
lintas batas negara;
melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan
peraturan kepala daerah;
melakukan pembinaan dan
pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan
persetujuan lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
mengembangkan dan
menerapkan instrumen lingkungan hidup;
mengoordinasikan dan
memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta
penyelesaian sengketa;
mengembangkan dan
melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat;
menetapkan standar
pelayanan minimal;
menetapkan kebijakan
mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal,
dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
mengelola informasi
lingkungan hidup nasional;
mengoordinasikan,
mengembangkan, dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan
hidup;
memberikan pendidikan,
pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
mengembangkan sarana dan
standar laboratorium lingkungan hidup;
menerbitkan Perizinan
Berusaha.
menetapkan wilayah
ekoregion; dan
melakukan penegakan hukum
lingkungan hidup.
Pasal 23 angka 2 Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1)
Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu
lingkungan hidup.
(2)
Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
baku mutu air;
baku mutu air limbah;
baku mutu air laut
baku mutu udara ambien;
baku mutu emisi;
baku mutu gangguan; dan
baku mutu lain sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang
limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
memenuhi baku mutu
lingkungan hidup; dan
mendapat persetujuan dari
Pemerintah Pusat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23 angka 3 Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1)
Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal merupakan
proses dan kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial,
ekonomi, dan budaya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria
usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23 angka 4 Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1)
Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup.
(2)
Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah
Pusat.
(3)
Pemerintah Pusat dalam melakukan Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat 2
dapat menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat.
(4)
Pemerintah Pusat menetapkan Keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan
uji kelayakan lingkungan.
(5)
Keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
sebagai persyaratan penerbitan Perizinan Berusaha.
(6)
Terhadap kegiatan yang dilakukan oleh instansi Pemerintah, keputusan kelayakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebagai dasar pelaksanaan
kegiatan.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji kelayakan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 23 angka 18 Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39
(1)
Keputusan kelayakan lingkungan hidup diumumkan kepada masyarakat.
(2)
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem elektronik
dan atau cara lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 23 angka 25 Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 69
Setiap
orang dilarang:
melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
memasukkan
B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
memasukkan
limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke
media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
memasukkan
limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
membuang
limbah ke media lingkungan hidup;
membuang B3 dan limbah B3
ke media lingkungan hidup;
melepaskan
produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan atau persetujuan lingkungan;
melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar;
menyusun amdal tanpa
memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau
memberikan informasi
palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan
keterangan yang tidak benar.
(1) Pemerintah Pusat
menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap Persetujuan Lingkungan.
(2) Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23 angka 35 Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 88
Setiap
orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang
terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.
Pasal 23 angka 37 Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 98
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dikenai sanksi administratif berupa
denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun
(3)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(4)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pertambangan Mineral dan Batu Bara
Ringkasan: Seluruh kewenangan perizinan pertambangan
ditarik ke PemerintahPusat.
Fokusnya memberikan insentif terhadap pelaku usaha yang melakukan smelting atau kegiatan pemanfaatan dan
pengembangan, antara lain dalam bentukbebas
DMO dan royalti 0%. Jika pelaku usaha melakukan smelting atau pemanfaatan dan pengembangan bisa diperpanjang
izinnya sampai seumur tambang. Penyelesaian tumpang tindih izin dan hak atas
tanah diselesaikan oleh Pusat melalui Perpres dan PP. Kontrak Karya dan PKP2B
tetap dapat diperpanjang tanpa lelang. Wewenang PPNS bidang pertambangan
ditambah tetapi kedudukannya berada di bawah Kepolisian.
Pasal 40 angka 3 Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
6
Kewenangan
Pemerintah Pusat dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, meliputi:
penetapan kebijakan
nasional;
pembuatan peraturan
perundang-undangan;
penetapan norma, standar,
pedoman, dan kriteria;
penetapan sistem
perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional;
pemberian Perizinan
Berusaha terkait pertambangan mineral dan batubara di seluruh wilayah hukum
pertambangan;
penetapan WP yang
dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah;
pembinaan, penyelesaian
konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan;
penetapan kebijakan
produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi;
penetapan kebijakan kerja
sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat;
perumusan dan penetapan
penerimaan negara bukan pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan
batubara;
penginventarisasian,
penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan
informasi mineral dan batubara sebagai bahan penyusunan wilayah pertambangan;
pengelolaan informasi
geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi
pertambangan pada wilayah hukum pertambangan Indonesia;
pembinaan dan pengawasan
terhadap reklamasi dan pascatambang;
penyusunan neraca sumber
daya mineral dan batubara wilayah hukum pertambangan Indonesia;
pengembangan dan
peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan;
peningkatan kemampuan
aparatur Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan
Pasal 40 angka 13 dan 24 Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47
(1)
Kegiatan Operasi Produksi pertambangan terdiri atas:
mineral
logam;
mineral
bukan logam;
mineral
bukan logam jenis tertentu;
batuan
batubara.
(2)
Kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral logam sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
(3)
Kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral bukan logam sebagaimana dimaksud
ayat (1) huruf b dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.
(4)
Kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu
sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c dapat diberikan dalam jangka waktu paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10
(sepuluh) tahun.
(5)
Kegiatan Operasi Produksi pertambangan batuan sebagaimana dimaksud ayat (1)
huruf d dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 5 (lima) tahun.
(6)
Kegiatan Operasi Produksi pertambangan batubara sebagaimana dimaksud ayat (1)
huruf e dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun 229
dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
(7)
Kegiatan Operasi Produksi yang melakukan kegiatan penambangan yang terintegrasi
dengan kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan
dapat diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan seumur tambang.
(8)
Kegiatan Operasi Produksi yang melakukan kegiatan pengembangan dan pemanfaatan
batubara yang terintegrasi sebagaimana diatur pada Undang-Undang ini dapat
diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang
setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan seumur tambang.
(9)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan penambangan yang terintegrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 83
Persyaratan
luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan kelompok usaha pertambangan yang
berlaku bagi pelaku usaha pertambangan khusus meliputi:
luas 1 (satu) WIUPK untuk
tahap kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas
paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare;
luas 1 (satu) WIUPK untuk
tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling
banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare;
Luas 1 (satu) WIUPK untuk
tahap kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral logam dan batubara
diberikan berdasarkan hasil evaluasi Pemerintah Pusat terhadap rencana kerja
seluruh wilayah yang diusulkan oleh pelaku usaha pertambangan khusus;
jangka waktu kegiatan
usaha pertambangan khusus untuk kegiatan Eksplorasi pertambangan mineral logam
dapat diberikan paling lama 8 (delapan) tahun; jangka waktu kegiatan usaha
pertambangan khusus untuk kegiatan Eksplorasi pertambangan batubara dapat
diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun;
jangka waktu kegiatan
usaha pertambangan khusus untuk kegiatan Operasi Produksi mineral logam atau
batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat
diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 10 (sepuluh) tahun;
Jangka waktu kegiatan
usaha pertambangan khusus mineral logam untuk tahap kegiatan operasi produksi
yang melaksanakan pengolahan dan pemurnian mineral logam yang terintegrasi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama
30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai
dengan seumur tambang;
Jangka waktu kegiatan
usaha pertambangan khusus batubara untuk tahap kegiatan operasi produksi yang
melaksanakan pengembangan dan pemanfatan batubara yang terintegrasi sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 (tiga
puluh) tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan
seumur tambang.
Pasal 40 angka 25 Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 102
(1)
Pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara
wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya Mineral dan/atau Batubara melalui:
pengolahan
dan Pemurnian Mineral logam;
pengolahan
Mineral bukan logam;
pengolahan
batuan; dan/atau
pengembangan
dan pemanfatan batubara;
(2)
Pelaku usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan dan pengembangan batubara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat dikecualikan dari kewajiban
pemenuhan kebutuhan batubara di dalam negeri.
Pasal 40 angka 30 Ketentuan Pasal 149 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 149
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi
pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang pos diberi wewenang
khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana.
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi
kewenangan untuk: meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan
dengan tindak pidana;
menerima
laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana;
memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak
pidana;
melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana;
meminta
keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana;
memotret
dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat
udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana;
memeriksa
dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
mengambil
sidik jari dan identitas orang;
menggeledah
tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana;
menyita
benda yangdiduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana;
mengisolasi
dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
mendatangkan
saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
menghentikan
proses penyidikan;
meminta
bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan
penanganan tindak pidana; dan
melakukan
tindakan lain menurut hukum yang berlaku.
(3)
Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik
Indonesia.
(4)
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan
memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan
kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik
Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak
hukum.
Pasal 40 angka 35 Di antara Pasal 169 dan Pasal 170 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 169A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 169A
(1)
Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara:
yang belum memperoleh
perpanjangan dapat diperpanjang menjadi Perizinan Berusaha terkait Pertambangan
Khusus perpanjangan pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang
setelah berakhirnya kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan
batubara dengan mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara; dan
yang telah memperoleh
perpanjangan pertama dapat diperpanjang menjadi Perizinan Berusaha terkait
Pertambangan Khusus perpanjangan kedua sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui
lelang setelah berakhirnya perpanjangan pertama kontrak karya atau perjanjian
karya pengusahaan pertambangan batubara dengan mempertimbangkan peningkatan
penerimaan negara.
(2)
Peningkatan penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
Perizinan Berusaha terkait Pertambangan Khusus perpanjangan sebagai kelanjutan
operasi setelah berakhirnya kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara dilakukan dengan:
pengaturan
kembali pengenaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak;
pemberian
luas wilayah sesuai dengan rencana kegiatan pada seluruh wilayah perjanjian
yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat sebelum UndangUndang ini berlaku;
kewajiban
peningkatan nilai tambah mineral dan batubara.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian perpanjangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pertanian dan Perkebunan
Ringkasan: Seluruh kewenangan perizinan perkebunan ditarik ke Pemerintah Pusat.Menghapus banyak kewajiban penting
(termasuk sanksinya) seperti memiliki Izin Lingkungan, membuat AMDAL, analisis
risiko, pemantauan lingkungan hidup, bahkan penyediaan sarana-prasarana
penanggulangan kebakaran juga dihapus. Batas waktu mengusahakan kebun 30% dalam
3 tahun dan 100% dalam 6 tahun dihapus. Kewajiban plasma 20% dihapus, tidak ada
batas minimalnya lagi. Dana yang dihimpun BPDPKS bisa disalurkan untuk subsidi
biodiesel.
Pasal 30 angka 1 Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
14
(1)
Pemerintah Pusat menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan
lahan untuk Usaha Perkebunan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batasan luas diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
30 angka 2 mengenai perubahan terhadap Pasal 15 UU Perkebunan 1 dihapus.
Pasal
30 angka 3 mengenai perubahan terhadap Pasal 16 UU Perkebunan dihapus.
Pasal
30 angka 14 mengenai perubahan terhadap Pasal 45 UU Perkebunan dihapus
Pasal
30 angka 19 mengenai perubahan terhadap Pasal 58 UU Perkebunan dihapus
Pasal
30 angka 24 mengenai perubahan terhadap Pasal 68 UU Perkebunan dihapus
Pasal
30 angka 29 Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 93
(1)
Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja negara.
(2)
Pembiayaan penyelenggaraan Perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah.
(3)
Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha Perkebunan bersumber
dari penghimpunan dana Pelaku Usaha Perkebunan, dana lembaga pembiayaan, dana
masyarakat, dan dana lain yang sah.
(4)
Penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk
pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi
Perkebunan, peremajaan Tanaman Perkebunan, sarana dan prasarana Perkebunan,
pengembangan perkebunan, dan/atau pemenuhan hasil Perkebunan untuk kebutuhan
pangan, bahan bakar nabati, dan hilirisasi Industri Perkebunan.
(5)
Dana yang dihimpun oleh pelaku usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dikelola oleh badan pengelola dana perkebunan, yang berwenang untuk
menghimpun, mengadministrasikan, mengelola, menyimpan, dan menyalurkan dana
tersebut.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada
ayat 4 dan badan pengelola dana perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
30 angka 30 Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
95
(1) Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha
Perkebunan melalui penanaman modal.
(2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang penanaman modal.
Pasal
30 angka 34 Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
102
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi
pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang perkebunan diberi
152 wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak
pidana.
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi
kewenangan untuk:
meneliti,
mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana;
menerima
laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana;
memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak
pidana;
melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana;
meminta
keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana;
memotret dan/atau merekam
melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang
dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana;
memeriksa
dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
mengambil
sidik jari dan identitas orang;
menggeledah tempat-tempat
tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana;
menyita benda yang diduga
kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
mengisolasi
dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
mendatangkan saksi ahli
yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana;
menghentikan
proses penyidikan;
meminta
bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan
penanganan tindak pidana; dan
melakukan
tindakan lain menurut hukum yang berlaku.
(3)
Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik
Indonesia.
(4)
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan
memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan
kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik
Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak
hukum.
Kelautan dan Perikanan
Ringkasan: Dalam draft RUU Cipta Kerja ini terdapat satu hal yang menjadi perhatianutama yaitu definisi Nelayan Kecil
yang diperluas menjadi Nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, biak yang tidak menggunakan kapal maupun yang
menggunakan kapal penangkap ikan, Perluasan definisi berpotensi nelayan dengan
kapal dengan muatan besar (Nelayan bermodal besar) untuk masuk dalam
klasifikasi nelayan kecil. Sehingga nelayan bermodal ini akan mendapatkan
perlakuan khusus sebagai nelayan kecil.
Pasal 28 ayat 1 Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 24, dan angka 26 diubah serta angka 16, angka 17, dan angka 18 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan
Perikanan adalah semua
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan
dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Sumber daya ikan adalah
potensi semua jenis ikan.
Lingkungan sumber daya
ikan adalah perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan
faktor alamiah sekitarnya
Ikan adalah segala jenis
organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam
lingkungan perairan.
Penangkapan ikan adalah
kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan
dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan
kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,
dan/atau mengawetkannya.
Pembudidayaan ikan adalah
kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen
hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan
kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,
dan/atau mengawetkannya.
Pengelolaan perikanan
adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan
informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi
sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan
perundangundangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau
otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber
daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Konservasi Sumber Daya
Ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan,
termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan,
dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai
dan keanekaragaman sumber daya ikan.
Kapal Perikanan adalah
kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan
ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan
ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi
perikanan.
Nelayan adalah orang yang
mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
Nelayan Kecil adalah
orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang tidak
menggunakan kapal penangkap Ikan.
Pembudi Daya Ikan adalah
orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan.
Pembudi Daya-Ikan Kecil
adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Setiap Orang adalah orang
perseorangan atau korporasi.
Korporasi adalah kumpulan
orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum
Dihapus
Dihapus.
Dihapus.
Laut Teritorial Indonesia
adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis
pangkal kepulauan Indonesia.
Perairan Indonesia adalah
laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.
Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia yang selanjutnya disingkat ZEEI adalah jalur di luar dan berbatasan
dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan
undangundang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut,
tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil
laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.
Laut Lepas adalah bagian
dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan
kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.
Pelabuhan Perikanan
adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan
batas-batas 123 tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan
sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan
bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
Menteri adalah menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perikanan.
Pemerintah adalah
Pemerintah Pusat.
Pemerintah Daerah adalah
kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Kehutanan
Ringkasan: Penyelesaian tumpang tindih kawasan diatur oleh
Pusat melalui Perpres.Batas minimum
30% kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk setiap DAS dan/atau pulau
dihapus. Pemegang izin tidak lagi bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan di
areal kerjanya, melainkan hanya diwajibkan melakukan upaya pencegahan dan
pengendalian. PPNS bidang kehutanan wewenangnya ditambah tetapi kedudukannya
berada di bawah Kepolisian.
Pasal 37 angka 3 Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
18
(1)
Pemerintah Pusat menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan
penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan/atau pulau guna
optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat
setempat.
(2)
Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai kondisi
fisik dan geografis DAS dan/atau pulau.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan
termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 37 angka 4 Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1)
Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu.
(2)
Ketentuan mengenai tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan
fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 37 angka 13 Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
(1)
Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan dikenakan
Penerimaan Negara Bukan Pajak dibidang kehutanan.
(2)
Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan wajib menyediakan
dana investasi untuk biaya pelestarian hutan.
(3)
Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemungutan hasil hutan hanya
dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak dibidang kehutanan berupa provisi.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37 angka 16 Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 49
Pemegang
hak atau Perizinan Berusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian
kebakaran hutan di areal kerjanya.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Dengan adanya RUU Cipta Lapangan
Kerja yang telah dijelaskan di bab sebelumnya banyak sekali ketidaksinambungan
dan ketidaksesuaian terhadap undang-undang sebelumnya serta ditemukan pasal
pasal yang masih abstrak. Dengan ini, berdasarkan analisis dan hasil diskusi setuju
bahwa Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja merugikan lingkungan hidup
di masa yang akan datang. Sehingga kami, Saintis Muda FMIPA UM yang peduli
terhadap regulasi hukum Indonesia dan lingkungan hidup menyatakan penolakan
terhadap pembahasan RUU cipta lapangan kerja lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan
Perundang Undangan :
Salinan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56/PMK.02/2006 tentang Tata Cara Pembayaran Domestic Market Obligation Fee dan Over Under Lifting di Sektor Minyak dan Gas Bumi.
RUU Cipta Lapangan Kerja_Bookmarked.pdf
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jurnal
:
Taufiq, Muchammad, Kedudukan dan Prosedur Amdal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Fitryantica, Agnes, Harmonisasi Peraturan Perundang Undangan Indonesia Melalui Konsep Omnibus Law.
Alim NA, Nur, Pro Kontra Penerapan Omnibus Law dan Solusinya.