Rapat Paripurna DPR RI tanggal 16 Juli lalu akhirnya memutuskan RUU P-KS akan masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. (cnnindonesia.com 20/7/2020). Sebelumnya, RUU PKS ini dihapus dari Prolegnas Prioritas 2020 dalam Rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 2 Juli 2020. (dpr.go.id 2/7/2020)
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang mengatakan penundaan pembahasan RUU PKS karena sempitnya waktu dalam masa tahun sidang berjalan. Proses pembahasan yang sulit karena pandemi Covid-19 juga mengurangi beban DPR terhadap RUU yang dibahas (kompas.com 1/7/2020). Banyak anggota DPR yang kecewa atas keputusan itu. Mereka meminta pembahasan RUU tetap dilanjutkan karena RUU ini cukup penting untuk kaum perempuan sesuai tuntutan para aktivis perempuan.(cnnindonesia.com 11/7/2020)
Komnas Perempuan
menyesalkan penundaan itu karena perundangan itu merupakan janji semua calon
presiden dan sejumlah politikus di Pemilu 2014. Langkah DPR itu dianggap
mencederai rasa keadilan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Desakan
pengesahan RUU PKS makin kuat diajukan setelah terjadi peningkatan kasus
kekerasan. Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2020 menyatakan selama 12
tahun, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia melonjak hampir 8 kali lipat.
Kekerasan makin marak terjadi di lingkungan keluarga seperti inses dan marital rape (kekerasan seksual dalam rumah tangga).
(kompas.com 1/7/2020)
Jaringan Kerja Prolegnas
Pro-Perempuan (JKP3) menyebutkan bahwa tiga tahun pembahasan alot RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual, sudah ada 11.000 korban baru. Bahkan,
Komnas Perempuan bersama Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan
Anak mencatat adanya peningkatan kasus hingga 75 persen sejak pandemi Covid-19.
(cnnindonesia.com 10/7/2020)
Aktivis perempuan berharap
pengesahan RUU PKS dapat menekan terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Pengesahan RUU PKS ini dirasa penting karena adanya persoalan di tingkat
substansi dari hukum pidana, yang telah menghalangi korban kekerasan seksual
terutama perempuan, untuk memperoleh keadilan dan mendapatkan dukungan penuh
untuk pemulihan.(cnnindonesia.com 2/7/2020) Termasuk dalam proses pendampingan
dan penanganan hukumnya, karena KUHP hanya mengenal istilah pencabulan dan
pemerkosaan. (kompas.com 1/7/2020)
RUU PKS akan mengatur spesifik sembilan jenis kekerasan seksual lainnya, meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemerkosaan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual (voaindonesia.com 7/7/2020). Hal tersebut termaktub dalam Bab V pasal 11, RUU PKS. Sederet kelebihan RUU PKS bila dibandingkan dengan UU yang ada, diyakini para aktivis perempuan dapat mengurangi kekerasan terhadap perempuan. Harapan besar ini telah membius mereka sehingga mereka tidak pernah berhenti untuk memperjuangkan pengesahan RUU PKS.
Dalam beberapa ruang
lingkup dari isi pasal tersebut tidak nampak ada problematikanya, sehingga jika
orang awam membacanya tidak mendalam, apalagi jika dibangun argumentasi “demi
melindungi perempuan” maka akan cenderung setuju dengan RUU PKS ini. Padahal ada
beberapa titik kritis yang cukup paradigmatik (mendasar) terkait RUU PKS ini,
salah satunya adalah:
Kritis paradigmatik tentang
definisi “Kekerasan seksual”. RUU tersebut menggunakan frasa dan narasi
“kekerasan seksual”. Jika ditilik dari sisi terminologi, maka penggunaan
istilah tersebut akan sangat jelas mereduksi makna “zina” yang sesungguhnya.
Sebab, azas contrarios (pemahaman terbalik), jika perbuatan seksual dari
sembilan rumusan tadi, misalnya penggunaan kontrasepsi atau perilaku aborsi,
tidak bisa disebut kekerasan perkosaan jika asasnya suka sama suka, alias tidak
ada paksaan ataupun kekerasan.
Oleh karena itu, tidak
tepat Perkataan Menko Polhukam Mahfud MD bahwa RUU PKS merupakan
bentuk hadirnya negara di dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan,
dan menjadi jalan keluar untuk perlindungan perempuan (merdeka.com 19/12/2019).
Meski ada banyak undang-undang dibuat negara, namun ketika perempuan dan anak
tetap mengalami kekerasan, maka sesungguhnya negara tidak pernah hadir dalam
kehidupan rakyatnya.
Memang benar, peningkatan
kekerasan terhadap perempuan, terus terjadi, bahkan dengan jenis kekerasan yang
makin beragam dan makin memprihatinkan. Namun sejatinya penyebabnya bukan
karena belum disahkannya RUU PKS.
Kehidupan sekuler yang
membebaskan kehidupan manusia dalam segala aspek menyebabkan semua kejahatan
itu terjadi. Masyarakat yang dibesarkan dalam ideologi tersebut, sehingga
menjadikan individu tega melakukan kejahatan terhadap sesama, bahkan terhadap
keluarganya sendiri. Saat ini manusia
bahkan menjadi lebih kejam dari binatang yang tercermin dalam makin
tingginya KDRT dalam bentuk kekerasan terhadap anak perempuan dan inses.
(komnasperempuan.go.id 6/3/2020)
RUU PKS menggunakan
definisi ‘Kekerasan seksual’ yang terfokus pada klausul “secara paksa,
bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak
mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas”. Klausul tersebut memberi
kesan bahwa sebuah perbuatan seksual yang dilakukan tanpa paksaan, dikehendaki
oleh satu sama lain; atau seseorang secara bebas memberikan persetujuannya,
tidak akan dikategorikan sebagai pelanggaran.
Jika tubuh seseorang
dieksploitasi demi hasrat seksual, namun atas persetujuan yang bersangkutan,
dan atas karenanya yang bersangkutan akan mendapatkan keuntungan, tidak akan
terkena delik kekerasan. Jelas klausul ini ambigu. Bahkan, jika membedah
pasal-pasalnya, akan kita temukan beberapa ketidakjelasan definisi yang berpotensi
menjadi pasal karet.
Pelecehan seksual, didefinisikan
pada Pasal 12 sebagai “Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan
fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh
seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain
terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan”. Definisi tidak jelas
dan bisa berekses pada tafsir sepihak dan digunakan untuk mengkriminalisasi
kritik moral masyarakat atas perilaku menyimpang.
Pemaksaan aborsi, didefinisikan
pada Pasal 15 sebagai “Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa
orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu
muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan
kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan”. Dapat menimbulkan
persepsi bahwa aborsi menjadi boleh selama tidak ada unsur ‘memaksa orang lain’
Pemaksaan pelacuran, didefinisikan
pada Pasal 18 sebagai “Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan,
ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu,
atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain”. Menimbulkan persepsi bahwa
pelacuran dibolehkan selama tidak dalam kondisi dipaksa. Padahal perzinahan
merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama.
Menjadikan perempuan
berdaulat atas tubuhnya sendiri bukanlah solusi kekerasan seksual. Bukankah
perempuan juga manusia yang terbatas? Ia tidak mampu memahami hakikat
baik-buruk bagi dirinya. Bahkan ini berpotensi merusak relasi perempuan dan
laki-laki di tengah masyarakat. Penanganan kejahatan haruslah dilakukan secara
preventif dan kuratif. Tanpa upaya preventif, apapun langkah kuratif yang
dilakukan tidak akan pernah efektif. Tanpa solusi kuratif, upaya preventif akan
mandul.
Dari sisi preventif,
menanamkan ketakwaan dalam diri individu melalui jalur pendidikan baik formal
maupun nonformal. Individu yang bertakwa memiliki keyakinan bahwa sekecil
apapun perbuatan buruk, akan diketahui oleh Sang Pencipta dan pasti mendapatkan balasan di hari akhirat.
Keterikatan pada hukum pencipta mampu mencegah perbuatan zalim apapun dan
terhadap siapapun.
Adanya pembentuk masyarakat
yang seharusnya berbudaya pada menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran
(keburukan). Mereka tak akan membiarkan muncul kezaliman dan pelanggaran apapun
di lingkungannya. Masyarakat pun akan terkondisikan dengan pengaturan kehidupan
yang seharusnya, tanpa aurat yang bertebaran di ranah publik, alpa pornografi
dan pornoaksi, menempatkan perempuan sebagai kehormatan yang harus dijaga.
Negara mencegah dan
memberantas peredaran narkoba dan minuman keras, serta apapun yang terbukti
merusak akal dan menjadi pintu bagi kemaksiatan lainnya. Negara pula yang
melakukan upaya kuratif dengan menerapkan sanksi tegas atas segala kemaksiatan,
termasuk kekerasan atau kejahatan seksual tanpa pandang bulu.
Adanya sistem dari Sang Pencipta, wajar bila sistem tersebut -dengan keterpaduan upaya preventif dan kuratif- mampu menyelesaikan seluruh permasalahan umat manusia, baik itu perempuan maupun laki-laki. Sistem ini juga akan menghapus kejahatan atau kekerasan seksual secara tuntas, tanpa menyisakan masalah ataupun menimbulkan problematika baru di tengah masyarakat.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) meluncurkan Program Organisasi Penggerak (POP) pada Maret 2020. Menurut
Peraturan Sekjen Kemendikbud Nomor 4 Tahun 2020 program ini memiliki tujuan
yang digadang-gadang dapat meningkatkan kualitas guru dan kepala sekolah yang
melibatkan organisasi-organisasi masyarakat maupun individu yang bergerak di
bidang pendidikan.
Untuk program ini
kemendikbud mengalokasikan dana sebesar 595 miliar per tahun yang diambil penuh
dari APBN demi menyokong POP yang menjadi bagian dari misi Merdeka Belajar
episode IV. Dana tersebut akan dikucurkan kepada organisasi masyarakat terpilih
untuk menjalankan program-program pelatihan guru dan kepala sekolah agar
memiliki kompetensi menciptakan anak didik berkualitas dalam segi ilmu maupun
karakter.
Organisasi yang terpilih
akan dibagi menjadi 3 kategori yakni Gajah, Macan, dan Kijang. Untuk gajah
dialokasikan anggaran sebesar maksimal Rp.20 miliar/tahun, Macan Rp.5
miliar/tahun, dan kijang Rp.1 miliar/tahun.
Beberapa organisasi yang
terkualifikasi ke dalam POP yang telah lama berkecimpung di dunia pendidikan
Indonesia seperti Muhammadiyah, NU, dan PGRI menyatakan mundur dari POP
Kemendikbud. (tirto.id 24/7/2020)
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah,
Sunanto meminta Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Hal itu terkait sejumlah
kejanggalan program organisasi penggerak pendidikan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang memicu mundurnya dua organisasi besar Islam, Muhammadiyah dan
NU. (kompas.com 25/7/2020). Adapun menurut PGRI anggaran sebesar itu akan
sangat bermanfaat jika dialokasikan untuk membantu siswa, guru honorer,
penyedia infrastruktur demi menunjang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). (tirto.id
29/7/2020)
Muhammadiyah dan NU menilai
proses evaluasi proposal POP sangat tidak jelas lantaran tidak ada perbedaan
antara lembaga Corporate Social Responsibility (CSR)
yang sepatutnya membantu dana pendidikan dengan organisasi yang berhak mendapat
bantuan pemerintah. Beberapa yayasan yang dianggap merupakan kegiatan CSR
perusahaan ternyata ambil bagian di dalamnya.
Dilansir dari Kompas.com
(23/7/2020), masuknya Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation ke dalam
daftar penerima hibah dari Kemendikbud untuk kategori gajah (Rp.20 miliar)
merupakan langkah tidak etis. Dua lembaga itu dinilai Huda terafiliasi dengan
korporasi yang dinilai tidak butuh hibah APBN.
Masuknya dua lembaga
nonprofit yang disebut mendapat hibah dari POP ini juga menuai kritik dari DPR.
Pada Kamis, 23 Juli Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengatakan pihaknya akan
memanggil Mendikbud Nadiem Makarim untuk meminta penjelasan terkait kebijakan
POP yang berpolemik ini. Menurutnya, dua lembaga nonprofit itu seharusnya
memberikan CSR untuk dunia pendidikan bukan malah mendapatkan dana hibah.
(kompas.com 29/7/2020)
Sebelumnya, Nadiem
menegaskan yayasan Putera Sampoerna bersama Tanoto tidak menggunakan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk Program Organisasi Penggerak (POP).
Dia menjelaskan yayasan tersebut menggunakan skema pembiayaan mandiri.
Mendikbud juga berharap organisasi penggerak yang mundur dapat bergabung
kembali. (merdeka.com 29/7/2020)
Seharusnya, negaralah yang
berkewajiban mengatur segala aspek sistem pendidikan yang diterapkan. Mulai
dari kurikulum, metode pengajaran, bahan-bahan ajar, hingga kualitas pengajar
dan pengelola pendidikan, semuanya tanggung jawab negara. Kepala negara
berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang
digaji untuk mendidik masyarakat yakni para guru.
Pun anggaran pendidikan yang diambil dari kas negara, akan digunakan seoptimal mungkin untuk pembiayaan semua pos pendidikan oleh negara. Negaralah yang bertanggung jawab melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi semua program pendidikan melalui peran para abdi negaranya yang amanah.
Pandemi Covid-19 belum juga
berakhir. Hingga saat ini update per
Sabtu (23/5/2020) pasien corona mencapai 20.796 jiwa. Sedangkan yang berhasil
sembuh bertambah menjadi 5.057 orang. Hal ini memperlihatkan bahwa penambahan
korban Covid-19 masih cukup tinggi per harinya.
Berbagai macam cara telah
dilakukan oleh pemerintah untuk menekan jumlah pasien agar tidak bertambah.
Salah satunya adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pada kebijakan
ini, diadakan restriksi di beberapa bidang kecuali bidang logistik, keuangan,
kesehatan, dan energi. Sudah ada beberapa daerah yang mempraktikkan kebijakan
ini. Utamanya daerah Jabodetabek dan Surabaya Raya.
Masalah lain yang timbul
adalah menurunnya jumlah pendapatan masyarakat, bahkan ada yang sama sekali
tidak dapat pemasukan. Ada dari mereka yang banting stir beralih ke usaha
lainnya, namun tak jarang juga yang justru jadi pengangguran.
Belum selesai masalah per
ekonomian masyarakat. Berita rencana masuknya 500 tenaga kerja asing (TKA) Cina ke
Sulawesi Tenggara di masa PSBB telah menimbulkan keresahan. Sulawesi Tenggara
yang sudah masuk zona merah seharusnya fokus pada penanganan pandemi Covid-19
dengan dukungan fasilitas kesehatan dan kebutuhan pokok. Namun pemerintah pusat
justru memberikan izin masuknya TKA Cina tersebut. (Kompas.com 11/5/2020)
Sungguh sangat miris, masyarakat
Indonesia yang sedang mengalami krisi ekonomi karena PHK yang terjadi
dimana-mana justru dihadapkan dengan rencana masuknya TKA ke Indonesia. Tentunya
kondisi ini menimbulkan penolakan dari pemerintah setempat, polemik ini
akhirnya berujung pada penundaan sementara izin untuk mendatangkan TKA Cina
tersebut sampai kondisi dinyatakan normal dan aman.
Pukulan jebloknya
usaha/bisnis ini tak hanya menelan korban usaha kecil dan menengah. Usaha-usaha
besar seperti pabrik-pabrik besar pun mengalami penyendatan. Menurut Ekonom
INDEF, Bhima Yudhistira jika PSBB ini terus berlanjut hingga periode akhir
bulan krisis ekonomi semakin menghujam parah.
Menurut Bhima, pertumbuhan
ekonomi pada tahun ini (2020) bisa saja menjadi minus 2% dengan meningkatnya
kemiskinan 12%-13%. Sementara pengangguran pun akan meningkat drastis. Dari 5%
naik menjadi 9%-10%, atau bahkan dua kali lipat lebih. (BBC, 4/5/2020)
Presiden Jokowi meminta Kapolri dan Panglima
TNI memastikan larangan mudik efektif berjalan di lapangan. Jokowi juga
menambahkan, pemerintah hanya melarang aktivitas mudik, bukan melarang
operasional dari angkutannya.
Jokowi sebelumnya menegaskan pemerintah belum
akan mengambil kebijakan pelonggaran PSBB. Saat ini hal itu masih sebatas
rencana. (detik.com 18/5/2020)
Wakil Sekretaris Jenderal
Partai Demokrat Irwan mengkritik. Menurutnya PSBB saat ini masih bersifat
longgar dan tidak tegas. Pernyataan ini dikuatkan dengan masih terus
bertambahnya pasien Covid-19.
Irwan menyarankan harusnya
PSBB itu jauh lebih ketat lagi. Agar berjalan lebih efektif, idealnya perlu ada
sanksi pelanggaran yang tegas. Kalau pun ada yang stres, menurutnya lebih
karena biaya hidup selama PSBB tidak dijamin negara. Sehingga masyarakat harus
memeras otak untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari.
Kondisi amburadul yang
terjadi saat PSBB sebenarnya sudah terjadi sejak awal, yakni saat pemerintah
terlihat tidak serius menangani wabah ini. Ketika dunia sudah kelabakan melawan
Covid-19, pemerintah justru menggenjot investasi dan wisata.
Ketika Covid-19 sudah
tersebar dan banyak korban berjatuhan, justru opsi PSBB yang dipilih. Bukan
karantina atau lockdown. Irwan menambahkan, apa
yang dilakukan pemerintah saat ini hanya terkesan melindungi kedudukan dan
ekonomi saja. Masalah nyawa rakyat urusan selanjutnya. (cnbcindonesia, 4/5/20)
“Pelonggaran PSBB memang tidak
dapat dihindari mengingat daya tahan perusahaan dan masyarakat sudah sangat
terbatas,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi
Sukamdani kepada (katadata.co.id 13/5/2020)
Kontra pun disampaikan
anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Dewan Perwakilan Rakyat, Syahrul Aidi
Maazat. Syahrul justru mencurigai rencana relaksasi PSBB ini hanya untuk
melonggarkan sejumlah pebisnis. Mereka hampir bangkrut, sehingga mendesak
pemerintah untuk melonggarkan kebijakan PSBB.
Jika dugaan tersebut benar,
dapat diartikan pemerintah justru melanggar asas keadilan dalam Undang-Undang
Kekarantinaan Kesehatan. Dalam UU Karantina Kesehatan disebutkan bahwa
keselamatan masyarakat adalah hal yang paling utama. Syahrul mengkhawatirkan,
jika PSBB ini melonggar, justru akan lebih banyak jatuh korban. (tempo,
3/5/2020).
Dari apa yang telah
dipaparkan ada dua kesimpulan mengapa PSBB akan dilonggarkan. Pertama karena
alasan ekonomi, dan yang kedua karena kesulitan negara menjamin kebutuhan
masyarakat saat pandemi.
Adapun alasan pertama
sebagaimana dipaparkan ekonom INDEF, Bhima Yudisthira, bahwa pertumbuhan
ekonomi Indonesia akan melambat hingga minus dua persen. Hal ini akan
mengakibatkan tidak berjalannya sektor perekonomian. Baik segala macam usaha,
moda transportasi, dan aktivitas ekonomi lainnya.
Selain menghindari krisis,
terdapat permintaan pelonggaran PSBB. Bagi usaha-usaha nonpangan atau
kesehatan, pastilah mengalami kemerosotan pendapatan atas usahanya. Oleh karena
itu, “orang-orang pebisnis” menekan pemerintah agar usahanya dapat berjalan.
Maklumlah, prinsip ekonomi kapitalis yang dipakai. Berbisnis hanya mementingkan
untung semata. Tidak perlu unsur kemanusiaannya.
Banyaknya masyarakat yang
mengaku stres karena susah dapat uang, para pemudik yang nekat mudik di tengah
larangan mudik, para korban PHK yang nekat bunuh diri, atau bahkan ada yang
rela jual ginjal demi makan sehari-hari, membuktikan bahwa negara kesulitan
mengurusi kebutuhan rakyatnya.
Seharusnya, baik dalam
kebijakan lockdown, karantina wilayah, atau
PSBB, ada tanggung jawab negara memenuhi kebutuhan rakyatnya. Bedanya,
jika lockdown atau karantina wilayah pemerintah
menjamin 100% kebutuhan dasar masyarakat. Sementara PSBB (setidaknya)
pemerintah menjamin keberadaan kebutuhan dasar itu mudah didapatkan.
Bagi yang memang kesulitan
ekonomi, 100% menjadi tanggungan negara. Jadi, tidak ada masyarakat yang merasa
sulit hidup di masa PSBB. Kalaupun ada tagihan, negara memberikan keringanan
baik penundaan atau pelunasan. Semua itu dilakukan agar masyarakat patuh dan
masalah Covid-19 segera teratasi.
Sayangnya, dengan kondisi keuangan negara sedang
pas-pasan belum mampu untuk menjamin kebutuhan pokok masyarakat yang terdampak
Covid-19 ini.
Penanganan yang seharusnya
ketika kasus penularan wabah, maka akan dilakukan karantina wilayah tempat
wabah tersebut berada. Dengan penjagaan ketat, warga daerah wabah tak boleh
keluar daerah demi menghindari penularan secara bebas. Begitu pun warga daerah
luar wabah, tak boleh masuk daerah wabah. Semua demi keamanan bersama.
Jika dilakukan karantina
seperti itu, maka negara wajib menjamin kebutuhan tiap individu terdampak.
Pasalnya, ketika menjalani karantina mereka pasti akan kekurangan uang dan
bahan makanan untuk memenuhi hajat hidupnya. Di sinilah negara memberikan
bantuannya meskipun akhirnya perekonomian di daerah itu mengalami kemunduran.
Sebab, prioritas utama negara adalah keselamatan rakyat.
Jika semua SDA ini dikuasai
dan dikelola oleh negara, maka hasilnya bisa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Bahkan bisa dipakai untuk pembiayaan mendadak kala bencana atau
wabah.
Namun apa yang seharusnya
dilakukan ketika ada wabah ini menjadi hal yang mustahil untuk dilaksanakan
karena SDA tidak dikuasai oleh negara melainkan oleh pihak asing seperti tambang
emas di Papua yang dikuasai oleh PT Freeport, tambang geothermal di Jawa Barat
dikuasai oleh PT Chevron.
Padahal, jika pada keadaan genting seperti sekarang bantuan dari pemerintah sangatlah dibutuhkan. Namun, pemasukan untuk terlaksananya bantuan tersebut sangat minim dan bahkan ada yang sampai salah sasaran.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengungkapkan bahwa kronologi
dari meninggalnya 4 anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia di kapal berbendera
Cina. Beliau mengatakan ada 46 anak buah kapal (ABK) yang berasal dari Indonesia
bekerja di empat kapal berbendera Cina tersebut. Retno mengaku mendapatkan
informasi ada jenazah dua ABK WNI di kapal Long Xin 269 yang dilarung di
perairan Samudera Pasifik pada Desember 2019. Keputusan pelarungan jenazah ini
diambil oleh kapten kapal karena kematian disebabkan penyakit menular dan hal
ini berdasarkan persetujuan awak kapal lainnya.
Anggota DPR Komisi IX, Saleh
Partaonan Daulay, mengutuk keras tindakan perbudakan terhadap ABK WNI di kapal
Cina. Praktik perbudakan sudah di luar batas perikemanusiaan dan bertentangan
dengan International Covenant on Civil and Political
Rights (Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik).
“Sungguh sangat tidak adil.
TKA Cina kita perlakukan dengan baik. Mengapa WNI kita tidak dilindungi ketika
bekerja di sana? Jangan sampai, bangsa kita selalu inferior jika berhadapan
dengan negara lain,” katanya di Jakarta, Sabtu (9/5/2020).
Atas kejadian itu, KBRI Beijing telah menyampaikan nota
diplomatik meminta penjelasan atas kasus ini. Nota diplomatik KBRI Beijing
telah dijawab oleh Kemlu RRT yang menjelaskan bahwa pelarungan telah dilakukan
sesuai praktik kelautan intern untuk menjaga kesehatan awak kapal sesuai
ketentuan ILO. (detik.com, 7/5/2020)
Kisah ABK yang jenazahnya dilarung ke laut menjadi perbincangan
publik. Kisah miris mereka diberitakan ulang oleh youtuber Jang Hansol.
Mereka merasa diperbudak oleh kapal berbendera Cina tersebut. Mereka bahkan
hanya tidur tiga jam, bekerja sepanjang hari, makan dan minum dari hasil
sulingan air laut dan umpan ikan. Sementara terhadap ABK asal Cina mereka
diperlakukan istimewa.
Melansir dari laman bbcindonesia.com, 8/5/2020, Kementerian
Tenaga Kerja melalui Plt Dirjen Binapenta dan PKK, Aris Wahyudi mengatakan akan
melarang ABK yang tidak memenuhi standar kompetensi untuk bekerja di luar negeri.
Dugaan kekerasan dan penahahan gaji oleh kapal ikan berbendera Cina, Long Xin
629 pun menyeruak ke permukaan.
Data dari Migrant Care menunjukkan mereka menerima 205 aduan
kekerasan terhadap ABK Indonesia di kapal asing, juga gaji yang ditahan, dalam
kurun waktu delapan tahun belakangan. Koordinator National Destructive Fishing
Watch (DFW)-Indonesia, M. Abdi Suhufan, menyebut konflik di kapal sering
terjadi karena ABK asal Indonesia tidak dibekali kemampuan bekerja di atas
kapal asing.
Kompetensi yang dibutuhkan dalam hal ini setidaknya hal-hal yang
berkaitan dengan bidang laut seperti gambaran melaut, penggunaan alat pancing,
jaring dan sebagainya. Selain itu kemampuan bahasa asing juga tak dibekali. Hal
ini memicu kerentanan konflik di kapal. Bayangkan saja, melaut di kapal asing
hanya berbekal KTP, ijazah, buku pelaut, dan paspor, tanpa kemampuan dasar
tentu saja rentan terjadi eksploitasi tenaga buruh di laut. Merespons peristiwa
ini, pemerintah akan memperketat aturan awak kapal yang bekerja di kapal asing.
Perbudakan ABK yang berulang terjadi, pelarungan terhadap tiga
ABK Indonesia juga mengindikasikan perlakuan tak manusiawi kerap dialami
pekerja migran. Sebagaimana nasib TKI yang bekerja di luar negeri. Pekerja yang
bekerja di luar negeri selalu menjadi korban kekerasan negara lain. Tanpa
jaminan dan perlindungan dari negara asal.
Sejumlah netizen menceritakan
gaji yang diberikan pihak kapal dinilai tidak manusiawi. Kru kapal yang bekerja
selama 13 bulan, 5 kru kapal hanya menerima gaji sekitar 140.000 won atau Rp1,7
juta. Jika dibagi per bulan, kru kapal tersebut hanya menerima gaji sekitar
11.000 won atau Rp135.350. Hal ini membuktikan betapa murahnya harga tenaga
kerja Indonesia bagi asing. Sekaligus menandakan bahwa peran negara dalam
membuka lapangan kerja untuk penduduk pribumi terbilang minim.
Mari bandingkan bagaimana
perlakuan negara terhadap TKA Cina. Mereka diperlakukan bak anak emas. TKA
terutama asal Cina memang seperti mendapat perlakuan istimewa. Saat warga
menolak kedatangan TKA ke sejumlah wilayah dengan alasan pandemi Covid-19,
pemerintah justru memberikan pembelaan. Terakhir kedatangan 500 TKA Cina yang
akan bekerja di Konawe, Sulawesi Tenggara, mendapat restu pemerintah. Kemenaker
mengatakan bahwa pemerintah tak bisa melarang karena kedatangan mereka sudah
sesuai prosedur.
Sementara anak sendiri
terkatung-katung tanpa kepastian kerja. Mereka pun berjibaku sendiri mendapat
kerja dari agen pengiriman buruh secara liar dan ilegal. Sehingga banyak kasus
TKI dan ABK yang ilegal.
Pada kondisi saat ini fakta perbudakan modern masih berpeluang
terjadi. Sebabnya, persoalan ekonomi seperti kemiskinan, tuntutan nafkah
keluarga menjadi alasan para buruh bekerja tanpa henti. Sayangnya, perlindungan
terhadap buruh formal atau informal sangat lemah. Meski payung hukum terhadap
tenaga kerja itu ada, nyaris pelaksanannya masih jauh dari harapan. Inilah
fakta bahwa sistem kapitalisme belum mampu menjawab solusi atas persoalan
ekonomi, ketenagakerjaan, dan mengatasi kemiskinan. Yaitu jaminan dan kesejahteraan.
Negara adalah pengurus urusan
rakyat. Negara adalah pelindung dan perisai bagi rakyat yang ada di
belakangnya. Sayangnya, peran negara hanya mengatur dengan kebijakan dan aturan
tapi tak mampu melindungi serta menjamin kehidupan rakyatnya. Siapa yang
bermodal, dialah penguasa sesungguhnya. Kasus yang menimpa ABK di kapal Cina hanya
menambah rentetan minimnya perlindungan negara terhadap warga yang mencari
nafkah di negeri orang karena kesulitan mendapatkan pekerjaan di negeri
sendiri.
Dalam menunaikan tugasnya, negara seharusnya membuat aturan dan
pengawasan ketat terhadap perusahaan atau agen yang melayani pengiriman pekerja
migran ke luar negeri. Dibuat sanksi yang tegas dan berefek jera. Agar
perusahaan atau agen-agen nakal itu tak berulah melakukan praktik penyelundupan
tenaga kerja. Dari sisi tenaga kerja, negara semestinya juga berperan dalam
memberi pelatihan dan pembekalan dasar bagi pekerja. Tujuannya, agar mereka
memiliki kompetensi mumpuni dalam mengarungi pekerjaan yang akan mereka lakukan.
Bukan berbekal nekat atau minim kemampuan dan pengalaman.
Kontrak kerja adalah
memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak. Adapun yang berhubungan dengan
seorang pekerja maka yang dimanfaatkan adalah tenaganya. Karena itu, untuk
mengontrak seorang pekerja harus ditentukan jenis pekerjaannya sekaligus waktu,
upah, dan tenaganya.
Jenis pekerjaannya harus dijelaskan sehingga tidak kabur, karena transaksi kontrak kerja yang masih kabur hukumnya adalah rusak. Yang juga harus ditetapkan adalah tenaga yang harus dicurahkan oleh para pekerja sehingga para pekerja tidak dibebani dengan pekerjaan yang di luar kapasitasnya.
Masalah demi masalah terus terjadi di
tengah pandemi. Sangat begitu terlihat bagaimana pemerintah mengahadapi dampak
dari virus pandemi ini. Meski sudah dipoles sedemikian rupa lewat berbagai berita
di media, hingga berbagai sikap positif yang ditunjukkan para pejabat negara
serta jajarannya, tak bisa menutup mata dan lisan publik untuk mengoreksi
setiap kebijakan mereka.
Kebijakan dari pemerintah banyak menuai
polemik dan masih tetap di jalankan. Salah satunya yaitu polemik dari keputusan
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, yang menerbitkan Keputusan Menteri
(Kepmen) mengenai pembebasa napi demi mencegah penyebaran virus corona di penjara.
Keputusan Kepmen tersebut diterbitkan
pada 30 Maret, hingga saat ini sudah ada 35 ribu lebih narapidana yang bebas
dengan program asimilasi dan integrasi.
Dasarnya tertuang pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 10 Tahun 2020, Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No.M.HH-19 Pk 01.04.04 Tahun 2020, dan Surat Edaran Dierktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor: PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020. (nasional.okezone.com, 12/04/2020)
Pembebasan ini dilakukan dengan mempertimbangkan rawannya penyebaran Covid-19 di dalam lapas/rutan/LPKA di Indonesia yang mengalami kelebihan penghuni yang secara umum kapasitas lapas di seluruh Indonesia ada 130.000 orang, namun real penguninya hampir 270.000 napi. Namun, kita pun harus tetap menyadari bahwa tak ada yang bisa menjamin, para napi yang telah dibebaskan ini tidak melakukan kembali tindak kejahatan. Karena pada faktanya juga kita banyak menjumpai para napi yang keluar-masuk penjara. Kebijakan ini tentu juga sangat meresahkan masyarakat umum.
Ditjen PAS sebenarnya juga mewajibkan para
napi yang dibebaskan agar menjalani asimilasi di
rumah. Namun, apakah itu bisa memberikan pengaruh dan menjamin
para napi untuk tidak melakukan tindak kejahatan lagi?
Di Kota
Malang saja, angka Kejahatan
meningkat pasca ratusan napi mendapatkan asimilasi. Dalam kurun waktu satu
pekan, terjadi sebelas tindakan kriminalitas.
Angka kejahatan tersebut didominasi oleh
tindak kriminalitas yang dilakukan oleh narapidana yang mendapat asimilasi pada
awal April lalu. Seperti yang baru saja ditangkap oleh Satuan Unit Reserse
Kriminal Polresta Malang Kota, pada Minggu (12/04/2020).
Pihak
Kepolisian pun meminta Kementerian Hukum dan Ham lebih selektif dan tepat salam
menjalankan program asimilasi ini. (malang-kompas.com, 15/4/2020)
Menterri Yasonna mengakui bahwa
munculnya ide pembebasan napi didapatkan dari pesan Komisi Tinggi untuk HAM
PBB, Michelle Bachelett, Sub Komite Pencegahan Penyiksaan PBB yang
merekomendasikan agar Indonesia membebaskan sejumlah napi yang tinggal di lapas
dengan kapasitas terlalu banyak.
Ia menjelaskan bahwa pembebasan napi ini
memang tidak hanya di Indonesia, namun seluruh dunia. Diantaranya, Iran,
Polandia, Amerika, California, New York. Sepertinya itulah yang kemudian
menjadi sumber inspirasi pemerintah. Hingga akhirnya Menteri Yasonna
membicarakan masalah tersebut dengan Presiden Jokowi.
Presiden pun menyetujuinya dengan adanya
pembebasan napi tetapi hanya napi pidana umum saja yang dikarenakan kelebihan
kapasitas juga antisipasi penyebaran Covid-19. Pernyataan ini dikatakan pada rapat
terbatas mendengar laporan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona,
Senin (6/4/2020) (wartakota.tribunnews,10/4/2020)
Kebijakan yang diambil oleh pemerintah menuai
kritik dari Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed),
Prof. Hibnu Nugroho. Beliau mengatakan pascanapi bebas, lapas tidak menyiapkan
sistem kontrol para napi dan hanya sekadar membebaskan.
Jumlah napi di dua Lapas di Kota Malang yang mendapat asimilasi sebanyak 400 oran lebih. Pihak Kepolisian menyayangkan hal ini karena Lapas tidak memberi tembusan ke Kepolisian, data napi yang mendapat asimilasi. Sehingga polisi pun tidak bisa melakukan pengawasan, pada ratusan napi yang bebas tersebut. (malang-kompas.com, 15/4/2020).
Di sisi lain, tindak kejahatan
yang meningkat saat penademi ini juga memang dilatar belakangi oleh beberapa
alasan manusiawi artinya kondisi masyarakat pun hari ini tengah sulit. Begitu
banyak warga yang kurang mampu yang akhirnya tambah kesulitan akibat terjadi
pandemi. Begitu pula para nara pindana yang baru saja
bebas, mereka tidak mendapat uang pesangon (itu jelas). Akibatnya, mereka pun
juga kebinggungan dalam memenuhi kebutuhan hidup yang sekarang mereka jalani.
Keluarga bisa jadi serba kekurangan. Pekerjaan sulit dicari, yang ada hari ini
PHK besar-besaran karena perusahaan tak mampu bayar gaji para pekerja. Ide
berdagang pun pupus ditengah jalan karena tak ada modal. Lantas, kemana mereka
harus mencari uang untuk mendapatkan sesuap nasi? Beban hidup sekarang semakin
berat, pemerintah yang semestinya menjadi harapan bagi masyarakat untuk dapat
menjamin kelangsungan hidup mereka (minimal bisa makan) melalui jaring pengaman
sosial namun dinilai hanya gimmick yang belum tentu mampu menjamin
kebutuhan masyarakat. Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom dari Institute for
Development f Economics & Finance (INDEF) sepakat program yang dipamerkan
hanya gimik (Tirto.id/8 April 2020).
Hal inilah yang makin
menguatkan kekhawatiran masyarakat, bahwa kondisi ekonomi yang sulit di tengah
wabah corona, membuat sejumlah napi kembali nekat berulah. Kemudian
masyarakat yang akan menjadi korban.
Prof. Hibnu Nugroho tak ragu mengatakan
bahwa ini menjadi bukti kegagalan Kemenkumham dalam keputusannya dalam
pembebasan napi, khususnya Ditjen PAS serta lapas dalam mengawasi para napi
yang dibebaskan. Ditambah lagi, sistem
pemidanaan di Indonesia yang gagal membuat efek jera. Sangat sulit juga dengan jumlah
napi yang dibebaskan sebanyak 30 ribu lebih napi lapas mampu diawasi, sudah
terbukti sekali lagi ini menjadi sebuah kegagalan pemerintah. Hibnu menilai
Kemenkumham harus bertanggung jawab.
Tindak kejahatan semestinya dipahami sebagai sebuah perilaku buruk yang mesti dijatuhkan hukum dengan adil. Namun, kini tak jarang kita melihat realita hukum yang ‘sangat tajam ke bawah namun tumpul ke atas’. Dimana, ada kejahatan misalnya korupsi bermiliyar bahkan triliyunan diberikan hukuman yang jauh lebih ringan dibandingkan pencuri sandal atau ayam bahkan kayu bakar. Inilah fakta hukum saat ini.
Dengan adanya dampak dari pembebasan
napi ini tentunya menjadi tanggung jawab dari Kemenhumkam. Tanggung jawab itu dapat
dilakukan dengan mengevaluasi dari sistem kontrol para napi yang seharusnya
menjalani asimilasi di rumah.
Lalu apa yang harus kita lakukan?
Untuk mengantisipasi supaya hal buruk
tersebut tidak terjadi pada kita, maka yang harus kita kita lakukan adalah
Langkah
terbaik untuk saat ini adalah #dirumahaja.
Apabila
terpaksa keluar rumah pakailah masker dan perlindungan diri lainnya serta
jangan memakai barang-barang berharga ketika keluar rumah, seperti kalung
berlian dan barang mewah sebagainya.
Saling
menjaga lingkungan tempat tinggal dan laporkan ke pihak berwajib apabila ada
hal-hal yang mencurigakan
Jangan
panik, tetap waspada!
Dan juga, jangan lupa selalu berdoa
memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas aktivitas apa saja yang
akan dilakukan.
Pemantik : Fadhil
Fathurochman (Presma BEM FMIPA UM)
Moderator : Urbach
Aisa Kemal (Sekmen Riset&Teknologi BEM FMIPA UM 2020)
Ringkasan Diskusi :
Mengenai pembahasan di media sosial bahwa “terpidana
kasus korupsi” akan dibebaskan nyatata belum sepenuhnya benar. Hal tersebut
masih menjadi tanda tanya sebab Bapak Yosonna Laoly selaku Meteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia mengklarifikasi mengenai pernyataan yang ia gugat dengan
klarifikasi bahwa itu baru usulan saja.
Bapak Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum dan Keamananan menyatakan bahwa “Sampai sekarang pemerintah
tidak merencanakan mengubah / merevisi PP no 99 tahun 2012”
Pemantik juga mengatakan bahwa ia setuju dengan keputusan
yang memberi remisi / kebebasan bersyarat kepada para pelaku tindak pidana umum
sebanyak 30 ribu narapidana dengan alasan bahwa ruang sel yang ditempati kumuh
dan sempit serta para terpidana tindak pidana umum harus bergantian tidur
karena ruangan sempit yang ditempati lebih dari kapasitas selnya dan juga
masalah kesehatan juga yang dipertimbangan dengan adanya covid-19 ini. Namun,
pemantik (pemantik memakai sumber dari video najwa shihab) tidak setuju jika
para narapidana korupsi, narkoba, dan terorisme di bebaskan sesaui karena sel
yang di tempati cukup luas dan ada beberapa ruang sel yang satu kamar bisa satu
orang saja, maka alasan yang di pakai untuk membebaskan para terpidana kasus korupsi dengan
mempertimbangkan kesehatan akibat dari covid-19 ini tidak cocok jika di peruntukan
untuk mereka.
Gagasan oleh Pak Yasonna tentang 2/3 masa tahanan dan
diatas 60 tahun pada para narapidana korupsi juga tidak efektif. Mengingat
ayahanda Setnov pasti bisa keluar dengan gagasan ini. Namun juga ada syarat2nya
yaitu menyelesaikan masalah perkara dan membongkar tentang perkata, membayar
denda dan sudah 2/3 masa tahanan serta mendapat izin dari direktur jendral kesehatan.
Dari pemantik juga mengatakan bahwa Yasonna mengaku
telah mengantongi lampu hijau, jika ini bisa terealisasikan. (mungkin adanya
jalur kepentingan).
Kesimpulan ;
Belum
adanya konfirmasi yang jelas menganai hal ini dari pemerintah.
Sepakat
dengan keputusan yang memberi remisi / kebebasan bersyarat kepada para pelaku
tindak pidana umum sebanyak 30 ribu narapidana dengan alasan bahwa ruang sel
yang ditempati kumuh dan sempit serta para terpidana tindak pidana umum harus
bergantian tidur karena ruangan sempit yang ditempati lebih dari kapasitas
selnya dan juga masalah kesehatan juga yang dipertimbangan dengan adanya
covid-19 ini. Namun, tidak setuju jika para narapidana korupsi, narkoba, dan
terorisme di bebaskan sesaui karena sel yang di tempati cukup luas dan ada
beberapa ruang sel yang satu kamar bisa satu orang saja, maka alasan yang di pakai
untuk membebaskan para terpidana kasus
korupsi dengan mempertimbangkan kesehatan akibat dari covid-19 ini tidak cocok
jika di peruntukan untuk mereka.
Pertanyaan :
1. Dari @prasettiuul “Adakah pengawasan pembatasan aktivitas bagi napi yang akan bebas?”
Jawaban pemantik : Ini masih sebuah keputusan yang belum dilakukan atau beberapa sudah melakukan. Tapi yang dilakukan saat ini mereka monitoring saja, dan orang ini dibebaskan namun ada asimilasi.
2. Dari @muhammadarifw “ Apakah suatu kebijakan pembebasan napi ini menandakan bahwa negara ini belum siap secara infrastuktur maupun strategi melawan pandemic ini?
Jawaban pemantik : Untuk infrastruktur sangat kurang, dari 200ribu yg terkena tindak pidana kita hanya bisa menampung 170ribu orang. Bisa dilihat diyoutube/video2 bahwa satu kamar sel bisa 30 orang. Sangat jelas, infrastruktur sangat kurang dan kesehatanpun bisa dipertanyakan.
3. Dari @bargazi.th : “Bagaimana pernyataan menkopolhukam Bapak Mahfud MD yang menyatakan tidak akan membebaskan napi koruptor?”
Jawaban pemantik : pernyataan Bapak Yasonna Laoly masih mengambang, yang ia ambil dari pernyataan sangat kompleks dari tindak pidana umum dan sebagainya. Dari tahun 2015 Bapak Yohannes sudah mengusulkan untuk merevisi PP no 99 tahun 2012 dan sekarang dilakukan kambali. Dari Bapak Mahfud MD menerangkan bahwa sampai sekarang pemerintah tidak merencakan atau merevisi PP no 99 tahun 2012.
4.Dari @prasettiuul :“Jika pembebasan napi ini kurang efektif untuk mengurangi pencegahan pandemic ini. Lalu bagaimana langkah solutif menurut anda menimbang memang lapas yang sangat membeludak?”
Jawaban pemantik : saya sepakat dengan keputusan mentri bahwa akan melepaskan 30-35ribu napi namun tidak dengan napi tindak pindah terorisme, korupsi dan narkotika.
5. Dari @dianvitanf : “Diberita, sekarang banyak warga yg ditangkap karena tidak pathuh dengan protocol covid-19. Apakah lapas sekarang yg seharusnya digunakan untuk memenjarakan napi justru digunakan untuk penjara rakyat?
Jawaban pemantik : kita sama-sama terkurung karena harus mengisolasi diri.
6. Dari @yohannes16 : “Untuk pembebasan pengedar narkoba, bukankah menjadi bahaya? Karena masih ada kemungkinan koneksi antar pengedar masih terus berlanjut.
Jawaban pemantik : Jadi dalam PP no 29 tahun 2012 dijelaskan bahwa itu menyangkut tidak korupsi, narkotika dan terorisme.
7. Dari @sptnar : “Bedanya lockdown sama karantina wilayah itu apa?”
Jawaban pemantik : kalau lockdown kita terkunci, tapi pemerintah memberikan subsisdi berupa uang, logistic untuk lockdown ini. Sedangkan kalau karantina wilayah kita masih bia mengerjakan kegiatan kita sehari-hari tetapi dengan sosial distancing atau physical distancing tetapi pemerintah tidak memberikan subsidi (ada yg memberikan subsidi namun dari gurbernur atau walikotanya masing-masing).
8. Dari @@prasettiuul : “Cara mencegah agar mencegah penyebaran pamdemi ini?”
Jawaban pemateri : tips dari pemantik : menjalan
kehidupan seperti biasa namun tetap waspada. Ketika batuk atau lain-lain
langsung minum obat, dan langsung pakai masker.
Pembahasan mengenai Omnibus Law semakin
marak di perbincangkan di berbagai lapisan masyarakat. Dimulai dari pidato
Presiden Jokowi setelah dirinya dilantik menjadi presiden pada tanggal 20
Oktober 2019 lalu. Menurut Hendra Soenardi tujuan dibentuknya Omnibus Law
adalah sebagai solusi untuk megatasi rumitnya birokrasi instansi pemerintah
yang memunculkan ketidakpuasan investor.
Produk dari Omnibus Law terdiri dari UU
Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan. Secara garis besar, Omnibus Law
memiliki fungsi untuk menstandarisasi produk hukum bermasalah di beberapa
kebijakan sektoral seperti pembangunan ekonomi dan investasi.
Penerapan omnibus law dianggap tidak
sejalan dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang perundang-undangan. Penerapan
omnibus law akan melemahkan posisi pemerintah daerah dan buruh karena
terjadinya sifting pemerintah pusat dan bisnis akan menjadi lebih kuat.
Menanggapi draft RUU Cipta Lapangan Kerja
yang beredar di masyarakat tersebut nampaknya membawa polemik baru. Omnibus Law
berisi 79 UU dengan 1.244 pasal yang terdiri dari 11 kluster. Dari 11 kluster
ini yang paling berdampak di lingkungan adalah kluster 9 mengenai Pengadaaan
Lahan.
Terlebih lagi RUU Cipta Lapangan Kerja
yang disusun dengan pendekatan Omnibus Law di sinyalir akan melemahkan
penegakan hukum lingkuangan yang telah diatur dalam UU No 32 tahun 2009 Tentang
perlindungan dan Pengelolaan lingkuan hidup. RUU Cipta Lapangan Kerja berupa
melemahkan beberapa ketentuan seperti pengawasan,penegakan,hukum perdata, dan
pidana lingkungan hidup.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun
identifikasi masalah yang akan dikaji dalam Naskah Akademik RUU Cipta Lapangan
Kerja mengenai Lingkungan Hidup yang termuat dalam kluster 9 , meliputi :
Permasalahan
apa yang dihadapi dalam pelaksanaan RUU Cipta Lapangan Kerja bagi lingkungan
hidup.
Apakah
yang menjadi dasar penolakkan terhadap RUU Cipta Lapangan Kerja
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK.
Tujuan
penyusunan Naskah Akademik Penolakan RUU Cipta Lapangan Kerja yaitu :
Merumuskan
permasalahan dan kerugian apa yang ditimbulkan dari RUU Cipta Lapangan Kerja
ditinjau dari aspek :
Lingkungan
Hidup
Pertambangan
Minerba
Perikanan
Kelautan
Perkebunan
Kehutanan
Perubahan
ketentuan penegakkan hukum yang sebelumnya dimuat dalam UU NO 32 Tahun 2009
dilakukan tanpa adanya evaluasi yang komprehensif terhadap pelaksanaan
penegakkan hukum lingkungan di Indonesia dan lebih banyak merugikan masyarakat
. alasan perubahan juga tidak didukung oleh kajian dan praktik yang kuat.
D. METODE
Metode
penyusunan Naskah Akademik Penolakkan RUU Cipta Lapangan Kerja adalah dengan
Konsolidasi Terbuka bersama Warga FMIPA Universitas Negeri Malang dan metode
pengkajian studi pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KAJIAN TEORITIS
OMNIBUS LAW TERHADAP PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup atau PPLH yang kita ketahui diatur dalam UU NO 32 Tahun 2009
dimana Polri/ PPNS serta badan yang berwenang dalam hal ini bisa melakukan
pengawasan dan penindakan terhadap Lingkungan Hidup tanpa harus diserahkan ke
pemerintah pusat. Dengan adanya Omnibus Law ini, pengawasan, perlindungan
terhadap lingkungan hidup dan penindakan hukum perdata atau pidana bagi
pelanggar yang merugikan lingkungan hidup terancam dilemahkan atau dikaburkan.
Seluruh kewenangan bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat. Jika dilihat dari sisi masyarakat, penunjukkan subjek hanya “Pemerintah
Pusat” berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan birokrasi. Kewenangan
Instansi berpotensi lebih mudah diubah karena hanya diatur dalam level
peraturan pemerintah. Selain itu, akses masyarakat terhadap informasi, partisipasi
publik dan keadilan terhadap persetujuan ini semakin sulit . Contohnya, ketika
di daerah pemukiman warga akan didirikan pabrik, ada pembatasan akses
masyarakat untuk berpartisipasi dalam keadilan pengambilan keputusan karena
persetujuan membuang limbah ke media lingkungan harus mendapat persetujuan
Pemerintah pusat yang bukan tidak mungkin pemerintah akan mudah menyetujuinya,
padahal dampak ke kedepannya akan dirasakan oleh masyarakat sekitar pabrik
tersebut.
Permasalahan yang juga menjadi
sorotan dalam konteks ini yaitu pengawasan dan pengenaan sanksi administrasi
banyak dihapuskan, tindak materil diubah menjadi peningkatan sanksi
administrasi denda terlebih dahulu. Lalu bagaimana dengan pencemaran/ kerusakan
yang kompleks sehingga berdampak pada bencana besar dan bagaimana penerapan
sanksi administrasi diterapkan sementra izin lingkungan sendiri dihapuskan? Hal
ini juga membatasi sanksi administrasi yang hanya berupa denda padahal
sebelumnya ada pilihan paksaan pemerintah yang lebih efisien untuk segera menghentikan
pelanggaran yang menimbulkan pencemaran/ kerusakan lingkungan hidup
Pengawasan dan pengenaan sanksi
administrasi atas pelanggaran bidang lingkungan hidup diamputasi dengan
menghapuskan pasal 72-75 serta mengubah pasal 76. dalam hal ini, tidak ada lagi
ketegasan dalam UU tentang instansi yang bertanggungjawab dalam pegawasan
Lingkungan Hidup, kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan jenis sanksi
administrasi.
2. OMNIBUS LAW TERHADAP PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA.
Omnibus Law disini terfokus
memberikan intensif terhadap pelaku usaha/ pemilik tambang yang melakukan smelting
(pengolahan dan pemurnian mineral, termasuk batu bara) antara lain
diberlakukannya bebas DMO dan royalti 0% . Jika pelaku usaha atau pemilik
tambang ini melakukan smelting akan diberi jangka waktu 30 tahun dan
dapat diperpanjang sampai seumur tambang.
DMO sendiri merupakan Domestic
Market Obligation yaitu, kewajiban Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap
untuk menyerahkan sebagian minyak dan gas bumi dari bagiannya kepada negara
melalui Badan Pelaksana dalam rangka penyediaan minyak dan gas bumi untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri yang besarnya diatur dalam Kontrak Kerja Sama
(biasanya cenderung dihargai lebih murah).
Dalam
omnibus law ini ketetapan DMO akan di hapuskan menimbang banyak perusahaan
tambang yang tidak mencapai target minimal. Meskipun begitu, tidak seharusnya
DMO dihapuskan karena PLN masih memenuhi kebutuhan pasokan batubara nya lewat
pertambangan di Indonesia serta pengutamaan pemasokkan kebutuhan mineral dan
batubara untuk kepentingan dalam negeri.
Masih
ada solusi untuk mengatasi tantangan mengenai DMO tersebut selain
menghapuskannya, seperti :
Melakukan
perubahan spesifikasi batubara PLTU percepatan dan dibuat range spesifikasi
batubara(Kalori,belerang,kadar air) serta dibangunnya fasilitas coal
blending
Pembangunan
dan penempatan PLTU batubara skala kecil harus parallel dengan pemetaan coal resource
pelaku usaha kecil (KP) di daerah dimana coal resourcenya digunakan sebagai
pemasok PLTU terdekat. Misalnya pembangunan mine mouth power plant
untuk batubara berkalori rendah-sangat rendah
PLN
membeli batubara dengan harga pasar sehingga perlunya menerapkan harga Patokan
Batubara
PLN
mengutamakan batubara dari PKP2B untuk lebih terjaminnya kelancaran pasokan
batubara
Omnibus law ini akan memperburuk krisis iklim di Indonesia. Komitmen perubahan
iklim pemerintahan Joko Widodo terkait target energi terbarukan 23% menjadi
kebohongan besar kalau memasukkan batubara di dalamnya.
Industri batubara yang melakukan
kegiatan pemanfaatan dan pengembangan akan mendapatkan perpanjangan izin sampai
seumur tambang. Artinya, mereka bisa mengeruk batubara sampai habis.
Kepentingan industri batubara sudah jelas banyak bermain dan diakomodir
pemerintah dalam pembentukan rancangan Undang-undang ini.
RUU Cipta Kerja juga akan membebaskan
keharusan membayarkan royalti untuk industri batubara yang melakukan
peningkatan nilai tambah, bisa berupa proses gasifikasi dan
batubara cair yang disebutkan masuk dalam energi baru dalam kerangka energi
baru terbarukan. Pemerintah bahkan menjadikan batubara cair itu cara menurunkan
emisi karbon sektor energi.
Karena semua kewenangan perusahaan
minerba ditarik ke pemerintah pusat, kewenangan Pemerintah Provinsi di Pasal 7
dihapus. Perlu dipastikan apakah termasuk kewenangan memungut royalti dan
pajak, karena jika iya maka akan merugikan daerah yang PAD nya sangat
tergantung dari Pertambangan Minerba. Contoh : Timika.
3. OMNIBUS LAW TERHADAP SEKTOR PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
Omnibus Law ini menghapus banyak kewajiban penting,
seperti memiliki Izin Lingkungan, membuat AMDAL, analisis risiko, pemantauan
lingkungan hidup bahkan sarana pra sarana penanggulangan juga dihapus.
pemerintah berencana tidak memberlakukan AMDAL dan IMB dengan dalih sudah
termuat dalam rencana detail tata ruang (RDTR). AMDAL dan IMB dinilai sebagai
proses yang menghambat masuknya investasi. Rozani mengaskan AMDAL dan IMB merupakan
mekanisme penting yang tidak dapat dihapus. Sedangkan RDTR ditujukan untuk
zonasi kawasan, bukan menganalisis dampak lingkungan yang akan muncul akibat
pembangunan di suatu wilayah.
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan
keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan).
AMDAL bermanfaat untuk menjamin
suatu usaha atau kegiatan pembangunan agar layak secara lingkungan. Dengan AMDAL, suatu rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan
diharapkan dapat meminimalkan kemungkinan dampak negatif terhadap lingkungan
hidup, dan mengembangkan dampak positif, sehingga sumber daya alam dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable).
Wacana pemerintah mengenai penghapusan
AMDAL adalah untuk menyederhanakan birokrasi yang dinilai menghambat investasi.
Jika ingin mempermudah investasi, seharusnya tidak lantas menurunkan upaya
perlindungan pada lingkungan karena AMDAL punya fungsi penting dalam menjaga
keberlanjutan lingkungan agar tetap lestari.
Jika
dilihat dalam praktek nya, pemerintah kurang kontrol pada pembangunan atau monitoring
pasca pembangunan investor. Kalau amdal dihapus,
lantas bagaimana negara memastikan keberlanjutan lingkungan jika tidak ada
dokumen AMDAL. Masalah lain yang ditimbulkan dalam penerapan amdal ini adalah
dimana amdal kerap kali disalahgunakan menjadi sumber korupsi, oleh karena itu
pemerintah harus mencari cara untuk memangkasnya. Namun buan amdal yang
dihapus, melainkan hal-hal yang menyebabkan
birokrasi dalam membuat amdal mahal harus dihapus.
Konsideran UU
No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
menjelaskan pembangunan ekonomi nasional sebagaimana mandat UUD RI 1945
diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. AMDAL merupakan salah satu instrumen untuk mengontrol pembangunan
yang dilakukan di suatu wilayah dan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan
hidup dan masyarakat di sekitarnya.
Sebagai instrumen pengendalian ,salah satu proses yang
harus dilalui dalam mekanisme AMDAL yakni melakukan konsultasi publik terhadap
rencana pembangunan yang akan dilakukan. Jika masyarakat keberatan dengan
pembangunan tersebut, dan berdampak buruk bagi lingkungan, dapat menjadi
pertimbangan bagi komisi penilai AMDAL untuk tidak menerbitkan rekomendasi.
Tapi praktiknya, hampir tidak ada AMDAL yang tidak diloloskan oleh komisi
penilai amdal sekali pun ada penolakan masyarakat dan dampak buruk terhadap
lingkungan. Meskipun begitu, tanpa AMDAL kerusakan lingkungan akan semakin
masif.
4. OMNIBUS LAW TERHADAP KELAUTAN DAN PERIKANAN
Dalam draft RUU Cipta Lapangan Kerja ini jelas jelas
tidak melibatkan pihak pihak yang terkena dampak khususnya masyarakat pesisir
yang terdiri atas nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan,
petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir.
Pusat Data dan Informasi Kiara (2020) mencatat ada
beberapa dampak yang akan dialami oleh masyarakat pesisir jika rancangan
omnibus law ini disahkan.hal yang menjadi perhatian utama yaitu nelayan-nelayan
kecil maupun nelayan tradisional yang menggunakan perahu di bawah 10 GT serta
menggunakan alat tangkap ramah lingkungan dipaksa harus mengurus perizinan
perikanan tangkap. Tak hanya itu, rancangan omnibus law ini menyamakan nelayan
kecil dan nelayan tradisional dengan nelayan skala besar, yakni nelayan yang
menggunakan perahu di atas 10 gross tonnage. Padahal nelayan kecil dan nelayan
tradisional selama ini diperlakukan secara khusus sebagaimana diatur dalam
pasal 27 UU Perikanan karena mereka ramah lingkungan dan tidak mengeksploitasi
sumber daya perikanan.
Selanjutnya, rancangan omnibus law ini menguatkan posisi
tata ruang laut, sebagaimana diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Sampai akhir 2019, sebanyak 22 provinsi telah
merampungkan pembahasan peraturan daerah zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil. Artinya, masih ada 12 provinsi yang belum menyelesaikan pembahasan
peraturan zonasi yang merupakan tata ruang lautnya.
Namun, dari 22 peraturan zonasi yang telah disahkan,
ruang hidup masyarakat pesisir yang merupakan pemegang hak utama tak
mendapatkan porsi yang adil. Peraturan zonasi itu harus ditolak karena sejumlah
alasan. Pertama, tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama
pengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Kedua, alokasi ruang hidup
masyarakat pesisir sangat kecil dibandingkan dengan alokasi ruang untuk
kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan, pariwisata,
konservasi, dan proyek lainnya.
Pnyusunan peraturan zonasi hanya memberikan kepastian
hukum untuk kepentingan pebisnis. Dengan banyaknya yang mengakomodasi proyek
tambang, peraturan zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem laut.
mencampuradukkan kawasan tangkap nelayan tradisional dengan kawasan pemanfaatan
umum lainnya. Hal ini meningkatkan risiko nelayan ditabrak kapal-kapal besar.
Maka dari itu, masa depan masyarakat pesisir, khususnya
lebih dari delapan juta rumah tangga perikanan, akan terancam. Dengan kata
lain, tak ada alasan bagi masyarakat pesisir untuk menerima rancangan omnibus
law yang terkait dengan kehidupan mereka.
5. OMNIBUS LAW TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN
Omnibus Law yang dinilai hanya mengutamakan investasi dan pembangunan
infrastruktur, tetapi mengabaikan lingkungan. Pada sektor kehutanan, banyak RUU
yang terkesan mempertaruhkan ekologi.
Salah
satu aspek ekologi yang diubah adalah luas kawasan hutan. Pasal 18
Undang-Undangan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengalami perubahan di
mana batas minimum 30 persen luas kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk
setiap daerah aliran sungai dan/atau pulau ditiadakan.
Daerah
Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang di batasi punggung-punggung gunung
dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung
gunung tersebut dan akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama
(Asdak, 1995). DAS termasuk suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara
alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut
sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. (PP No
37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal (1).
DAS
berperan penting dalam menjaga lingkungan termasuk menjaga kualitas air,
mencegah banjir dan kekeringan saat musim hujan dan kemarau, mengurangi aliran
massa (tanah) dari hulu ke hilir. Salah satu upaya untuk menjaga fungsi DAS
adalah dengan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kondisi DAS secara
teratur.
Perubahan
tersebut berpotensi membuat marak kerusakan lingkungan. Sebab,dengan syarat
minimal luas kawasan hutan yang saat ini saja, telah terjadi kerusakan. Ketika
batas minimum kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk setiap DAS dihapus,
akan seberapa luas kemungkinan kawasan hutan yang akan dipertahankan sementara
pemerintah hanya terfokus kepada pembangunan dan investasi, tanpa memikirkan
kemungkinan bencana alam yang terjadi dikemudian hari.
Perubahan
lainnya, tanggung jawab pengelola terhadap kejadian bencana kebakaran hutan dan
lahan pun berpotensi ditiadakan melalui pengubahan Pasal 49. Rancangan regulasi
menyebutkan pemegang izin tidak lagi bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan
di area kerjanya, tetapi hanya sebatas diwajibkan melakukan upaya pencegahan
dan pengendalian kebakaran hutan.
Perubahan
pasal tersebut berpotensi membuat penegakkan hukum kebakaran hutan di area
perusahaan semakin tumpul. Pasal ini bisa diartikan bahwa setiap kebakaran yang
terjadi di area perusahaan tidak serta merta menjadi tanggung jawab perusahaan.
Lalu siapa yang akan digugat ketika hal itu terjadi
Adapun perubahan lainnya adalah Pasal 19. Dalam Omnibus
law disebutkan, bahwa perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi
kawasan hutan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Padahal dalam Pasal 19 UU Kehutanan sebelumnya
menyebutkan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh
Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini
menunjukkan hilangnya partisipasi DPR dalam membuat keputusan bersama
pemerintah.
BAB
III
EVALUASI
DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT :
Ada
pembatasan akses masyarakat kepada informasi, partisipasi dan keadilan dalam
pengambilan keputusanyang berpotensi memberi dampak pada lingkungan hidup.
Pengawasan danpengenaan sanksi administrasi banyak yang dihapus dan tata
caranya didelegasikanke peraturan pemerintah. Sanksi pidana harus didahului
dengan sanksi administrasihanya berupa denda dengan batas maksimum.
Lingkungan
Hidup
Ringkasan: Seluruh kewenangan
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkunganhidup menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Kriteria untuk
menentukan kegiatan dengan risiko tinggi di bidang lingkungan hidup terlalu
abstrak. Ada pembatasan akses masyarakat kepada informasi, partisipasi dan
keadilan dalam pengambilan keputusan yang berpotensi memberi dampak pada
lingkungan hidup. Pengawasan dan pengenaan sanksi administrasi banyak yang
dihapus dan tata caranya didelegasikan ke peraturan pemerintah. Sanksi pidana
harus didahului dengan sanksi administrasi hanya berupa denda dengan batas
maksimum.
Pasal 23 angka 4 Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
63
Dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah Pusat bertugas dan berwenang:
menetapkan kebijakan nasional;
menetapkan norma,
standar, prosedur, dan kriteria;
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional;
menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai KLHS;
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
menyelenggarakan
inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca;
mengembangkan standar
kerja sama;
mengoordinasikan dan
melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati,
keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa
genetik;
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak perubahan iklim dan
perlindungan lapisan ozon;
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3;
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut;
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
lintas batas negara;
melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan
peraturan kepala daerah;
melakukan pembinaan dan
pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan
persetujuan lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
mengembangkan dan
menerapkan instrumen lingkungan hidup;
mengoordinasikan dan
memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta
penyelesaian sengketa;
mengembangkan dan
melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat;
menetapkan standar
pelayanan minimal;
menetapkan kebijakan
mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal,
dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
mengelola informasi
lingkungan hidup nasional;
mengoordinasikan,
mengembangkan, dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan
hidup;
memberikan pendidikan,
pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
mengembangkan sarana dan
standar laboratorium lingkungan hidup;
menerbitkan Perizinan
Berusaha.
menetapkan wilayah
ekoregion; dan
melakukan penegakan hukum
lingkungan hidup.
Pasal 23 angka 2 Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1)
Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu
lingkungan hidup.
(2)
Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
baku mutu air;
baku mutu air limbah;
baku mutu air laut
baku mutu udara ambien;
baku mutu emisi;
baku mutu gangguan; dan
baku mutu lain sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang
limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
memenuhi baku mutu
lingkungan hidup; dan
mendapat persetujuan dari
Pemerintah Pusat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23 angka 3 Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1)
Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal merupakan
proses dan kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial,
ekonomi, dan budaya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria
usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23 angka 4 Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1)
Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup.
(2)
Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah
Pusat.
(3)
Pemerintah Pusat dalam melakukan Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat 2
dapat menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat.
(4)
Pemerintah Pusat menetapkan Keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan
uji kelayakan lingkungan.
(5)
Keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
sebagai persyaratan penerbitan Perizinan Berusaha.
(6)
Terhadap kegiatan yang dilakukan oleh instansi Pemerintah, keputusan kelayakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebagai dasar pelaksanaan
kegiatan.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji kelayakan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 23 angka 18 Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39
(1)
Keputusan kelayakan lingkungan hidup diumumkan kepada masyarakat.
(2)
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem elektronik
dan atau cara lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 23 angka 25 Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 69
Setiap
orang dilarang:
melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
memasukkan
B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
memasukkan
limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke
media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
memasukkan
limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
membuang
limbah ke media lingkungan hidup;
membuang B3 dan limbah B3
ke media lingkungan hidup;
melepaskan
produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan atau persetujuan lingkungan;
melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar;
menyusun amdal tanpa
memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau
memberikan informasi
palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan
keterangan yang tidak benar.
(1) Pemerintah Pusat
menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap Persetujuan Lingkungan.
(2) Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23 angka 35 Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 88
Setiap
orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang
terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.
Pasal 23 angka 37 Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 98
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dikenai sanksi administratif berupa
denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun
(3)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(4)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pertambangan Mineral dan Batu Bara
Ringkasan: Seluruh kewenangan perizinan pertambangan
ditarik ke PemerintahPusat.
Fokusnya memberikan insentif terhadap pelaku usaha yang melakukan smelting atau kegiatan pemanfaatan dan
pengembangan, antara lain dalam bentukbebas
DMO dan royalti 0%. Jika pelaku usaha melakukan smelting atau pemanfaatan dan pengembangan bisa diperpanjang
izinnya sampai seumur tambang. Penyelesaian tumpang tindih izin dan hak atas
tanah diselesaikan oleh Pusat melalui Perpres dan PP. Kontrak Karya dan PKP2B
tetap dapat diperpanjang tanpa lelang. Wewenang PPNS bidang pertambangan
ditambah tetapi kedudukannya berada di bawah Kepolisian.
Pasal 40 angka 3 Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
6
Kewenangan
Pemerintah Pusat dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, meliputi:
penetapan kebijakan
nasional;
pembuatan peraturan
perundang-undangan;
penetapan norma, standar,
pedoman, dan kriteria;
penetapan sistem
perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional;
pemberian Perizinan
Berusaha terkait pertambangan mineral dan batubara di seluruh wilayah hukum
pertambangan;
penetapan WP yang
dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah;
pembinaan, penyelesaian
konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan;
penetapan kebijakan
produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi;
penetapan kebijakan kerja
sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat;
perumusan dan penetapan
penerimaan negara bukan pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan
batubara;
penginventarisasian,
penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan
informasi mineral dan batubara sebagai bahan penyusunan wilayah pertambangan;
pengelolaan informasi
geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi
pertambangan pada wilayah hukum pertambangan Indonesia;
pembinaan dan pengawasan
terhadap reklamasi dan pascatambang;
penyusunan neraca sumber
daya mineral dan batubara wilayah hukum pertambangan Indonesia;
pengembangan dan
peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan;
peningkatan kemampuan
aparatur Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan
Pasal 40 angka 13 dan 24 Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47
(1)
Kegiatan Operasi Produksi pertambangan terdiri atas:
mineral
logam;
mineral
bukan logam;
mineral
bukan logam jenis tertentu;
batuan
batubara.
(2)
Kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral logam sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
(3)
Kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral bukan logam sebagaimana dimaksud
ayat (1) huruf b dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.
(4)
Kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu
sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c dapat diberikan dalam jangka waktu paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10
(sepuluh) tahun.
(5)
Kegiatan Operasi Produksi pertambangan batuan sebagaimana dimaksud ayat (1)
huruf d dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 5 (lima) tahun.
(6)
Kegiatan Operasi Produksi pertambangan batubara sebagaimana dimaksud ayat (1)
huruf e dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun 229
dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
(7)
Kegiatan Operasi Produksi yang melakukan kegiatan penambangan yang terintegrasi
dengan kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan
dapat diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan seumur tambang.
(8)
Kegiatan Operasi Produksi yang melakukan kegiatan pengembangan dan pemanfaatan
batubara yang terintegrasi sebagaimana diatur pada Undang-Undang ini dapat
diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang
setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan seumur tambang.
(9)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan penambangan yang terintegrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 83
Persyaratan
luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan kelompok usaha pertambangan yang
berlaku bagi pelaku usaha pertambangan khusus meliputi:
luas 1 (satu) WIUPK untuk
tahap kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas
paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare;
luas 1 (satu) WIUPK untuk
tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling
banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare;
Luas 1 (satu) WIUPK untuk
tahap kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral logam dan batubara
diberikan berdasarkan hasil evaluasi Pemerintah Pusat terhadap rencana kerja
seluruh wilayah yang diusulkan oleh pelaku usaha pertambangan khusus;
jangka waktu kegiatan
usaha pertambangan khusus untuk kegiatan Eksplorasi pertambangan mineral logam
dapat diberikan paling lama 8 (delapan) tahun; jangka waktu kegiatan usaha
pertambangan khusus untuk kegiatan Eksplorasi pertambangan batubara dapat
diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun;
jangka waktu kegiatan
usaha pertambangan khusus untuk kegiatan Operasi Produksi mineral logam atau
batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat
diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 10 (sepuluh) tahun;
Jangka waktu kegiatan
usaha pertambangan khusus mineral logam untuk tahap kegiatan operasi produksi
yang melaksanakan pengolahan dan pemurnian mineral logam yang terintegrasi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama
30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai
dengan seumur tambang;
Jangka waktu kegiatan
usaha pertambangan khusus batubara untuk tahap kegiatan operasi produksi yang
melaksanakan pengembangan dan pemanfatan batubara yang terintegrasi sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 (tiga
puluh) tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan
seumur tambang.
Pasal 40 angka 25 Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 102
(1)
Pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara
wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya Mineral dan/atau Batubara melalui:
pengolahan
dan Pemurnian Mineral logam;
pengolahan
Mineral bukan logam;
pengolahan
batuan; dan/atau
pengembangan
dan pemanfatan batubara;
(2)
Pelaku usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan dan pengembangan batubara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat dikecualikan dari kewajiban
pemenuhan kebutuhan batubara di dalam negeri.
Pasal 40 angka 30 Ketentuan Pasal 149 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 149
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi
pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang pos diberi wewenang
khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana.
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi
kewenangan untuk: meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan
dengan tindak pidana;
menerima
laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana;
memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak
pidana;
melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana;
meminta
keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana;
memotret
dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat
udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana;
memeriksa
dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
mengambil
sidik jari dan identitas orang;
menggeledah
tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana;
menyita
benda yangdiduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana;
mengisolasi
dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
mendatangkan
saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
menghentikan
proses penyidikan;
meminta
bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan
penanganan tindak pidana; dan
melakukan
tindakan lain menurut hukum yang berlaku.
(3)
Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik
Indonesia.
(4)
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan
memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan
kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik
Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak
hukum.
Pasal 40 angka 35 Di antara Pasal 169 dan Pasal 170 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 169A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 169A
(1)
Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara:
yang belum memperoleh
perpanjangan dapat diperpanjang menjadi Perizinan Berusaha terkait Pertambangan
Khusus perpanjangan pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang
setelah berakhirnya kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan
batubara dengan mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara; dan
yang telah memperoleh
perpanjangan pertama dapat diperpanjang menjadi Perizinan Berusaha terkait
Pertambangan Khusus perpanjangan kedua sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui
lelang setelah berakhirnya perpanjangan pertama kontrak karya atau perjanjian
karya pengusahaan pertambangan batubara dengan mempertimbangkan peningkatan
penerimaan negara.
(2)
Peningkatan penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
Perizinan Berusaha terkait Pertambangan Khusus perpanjangan sebagai kelanjutan
operasi setelah berakhirnya kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara dilakukan dengan:
pengaturan
kembali pengenaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak;
pemberian
luas wilayah sesuai dengan rencana kegiatan pada seluruh wilayah perjanjian
yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat sebelum UndangUndang ini berlaku;
kewajiban
peningkatan nilai tambah mineral dan batubara.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian perpanjangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pertanian dan Perkebunan
Ringkasan: Seluruh kewenangan perizinan perkebunan ditarik ke Pemerintah Pusat.Menghapus banyak kewajiban penting
(termasuk sanksinya) seperti memiliki Izin Lingkungan, membuat AMDAL, analisis
risiko, pemantauan lingkungan hidup, bahkan penyediaan sarana-prasarana
penanggulangan kebakaran juga dihapus. Batas waktu mengusahakan kebun 30% dalam
3 tahun dan 100% dalam 6 tahun dihapus. Kewajiban plasma 20% dihapus, tidak ada
batas minimalnya lagi. Dana yang dihimpun BPDPKS bisa disalurkan untuk subsidi
biodiesel.
Pasal 30 angka 1 Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
14
(1)
Pemerintah Pusat menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan
lahan untuk Usaha Perkebunan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batasan luas diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
30 angka 2 mengenai perubahan terhadap Pasal 15 UU Perkebunan 1 dihapus.
Pasal
30 angka 3 mengenai perubahan terhadap Pasal 16 UU Perkebunan dihapus.
Pasal
30 angka 14 mengenai perubahan terhadap Pasal 45 UU Perkebunan dihapus
Pasal
30 angka 19 mengenai perubahan terhadap Pasal 58 UU Perkebunan dihapus
Pasal
30 angka 24 mengenai perubahan terhadap Pasal 68 UU Perkebunan dihapus
Pasal
30 angka 29 Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 93
(1)
Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja negara.
(2)
Pembiayaan penyelenggaraan Perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah.
(3)
Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha Perkebunan bersumber
dari penghimpunan dana Pelaku Usaha Perkebunan, dana lembaga pembiayaan, dana
masyarakat, dan dana lain yang sah.
(4)
Penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk
pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi
Perkebunan, peremajaan Tanaman Perkebunan, sarana dan prasarana Perkebunan,
pengembangan perkebunan, dan/atau pemenuhan hasil Perkebunan untuk kebutuhan
pangan, bahan bakar nabati, dan hilirisasi Industri Perkebunan.
(5)
Dana yang dihimpun oleh pelaku usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dikelola oleh badan pengelola dana perkebunan, yang berwenang untuk
menghimpun, mengadministrasikan, mengelola, menyimpan, dan menyalurkan dana
tersebut.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada
ayat 4 dan badan pengelola dana perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
30 angka 30 Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
95
(1) Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha
Perkebunan melalui penanaman modal.
(2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang penanaman modal.
Pasal
30 angka 34 Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
102
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi
pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang perkebunan diberi
152 wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak
pidana.
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi
kewenangan untuk:
meneliti,
mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana;
menerima
laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana;
memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak
pidana;
melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana;
meminta
keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana;
memotret dan/atau merekam
melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang
dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana;
memeriksa
dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
mengambil
sidik jari dan identitas orang;
menggeledah tempat-tempat
tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana;
menyita benda yang diduga
kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
mengisolasi
dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
mendatangkan saksi ahli
yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana;
menghentikan
proses penyidikan;
meminta
bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan
penanganan tindak pidana; dan
melakukan
tindakan lain menurut hukum yang berlaku.
(3)
Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik
Indonesia.
(4)
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan
memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan
kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik
Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak
hukum.
Kelautan dan Perikanan
Ringkasan: Dalam draft RUU Cipta Kerja ini terdapat satu hal yang menjadi perhatianutama yaitu definisi Nelayan Kecil
yang diperluas menjadi Nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, biak yang tidak menggunakan kapal maupun yang
menggunakan kapal penangkap ikan, Perluasan definisi berpotensi nelayan dengan
kapal dengan muatan besar (Nelayan bermodal besar) untuk masuk dalam
klasifikasi nelayan kecil. Sehingga nelayan bermodal ini akan mendapatkan
perlakuan khusus sebagai nelayan kecil.
Pasal 28 ayat 1 Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 24, dan angka 26 diubah serta angka 16, angka 17, dan angka 18 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan
Perikanan adalah semua
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan
dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Sumber daya ikan adalah
potensi semua jenis ikan.
Lingkungan sumber daya
ikan adalah perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan
faktor alamiah sekitarnya
Ikan adalah segala jenis
organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam
lingkungan perairan.
Penangkapan ikan adalah
kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan
dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan
kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,
dan/atau mengawetkannya.
Pembudidayaan ikan adalah
kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen
hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan
kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,
dan/atau mengawetkannya.
Pengelolaan perikanan
adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan
informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi
sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan
perundangundangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau
otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber
daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Konservasi Sumber Daya
Ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan,
termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan,
dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai
dan keanekaragaman sumber daya ikan.
Kapal Perikanan adalah
kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan
ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan
ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi
perikanan.
Nelayan adalah orang yang
mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
Nelayan Kecil adalah
orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang tidak
menggunakan kapal penangkap Ikan.
Pembudi Daya Ikan adalah
orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan.
Pembudi Daya-Ikan Kecil
adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Setiap Orang adalah orang
perseorangan atau korporasi.
Korporasi adalah kumpulan
orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum
Dihapus
Dihapus.
Dihapus.
Laut Teritorial Indonesia
adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis
pangkal kepulauan Indonesia.
Perairan Indonesia adalah
laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.
Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia yang selanjutnya disingkat ZEEI adalah jalur di luar dan berbatasan
dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan
undangundang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut,
tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil
laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.
Laut Lepas adalah bagian
dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan
kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.
Pelabuhan Perikanan
adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan
batas-batas 123 tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan
sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan
bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
Menteri adalah menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perikanan.
Pemerintah adalah
Pemerintah Pusat.
Pemerintah Daerah adalah
kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Kehutanan
Ringkasan: Penyelesaian tumpang tindih kawasan diatur oleh
Pusat melalui Perpres.Batas minimum
30% kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk setiap DAS dan/atau pulau
dihapus. Pemegang izin tidak lagi bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan di
areal kerjanya, melainkan hanya diwajibkan melakukan upaya pencegahan dan
pengendalian. PPNS bidang kehutanan wewenangnya ditambah tetapi kedudukannya
berada di bawah Kepolisian.
Pasal 37 angka 3 Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
18
(1)
Pemerintah Pusat menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan
penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan/atau pulau guna
optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat
setempat.
(2)
Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai kondisi
fisik dan geografis DAS dan/atau pulau.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan
termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 37 angka 4 Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1)
Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu.
(2)
Ketentuan mengenai tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan
fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 37 angka 13 Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
(1)
Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan dikenakan
Penerimaan Negara Bukan Pajak dibidang kehutanan.
(2)
Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan wajib menyediakan
dana investasi untuk biaya pelestarian hutan.
(3)
Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemungutan hasil hutan hanya
dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak dibidang kehutanan berupa provisi.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37 angka 16 Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 49
Pemegang
hak atau Perizinan Berusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian
kebakaran hutan di areal kerjanya.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Dengan adanya RUU Cipta Lapangan
Kerja yang telah dijelaskan di bab sebelumnya banyak sekali ketidaksinambungan
dan ketidaksesuaian terhadap undang-undang sebelumnya serta ditemukan pasal
pasal yang masih abstrak. Dengan ini, berdasarkan analisis dan hasil diskusi setuju
bahwa Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja merugikan lingkungan hidup
di masa yang akan datang. Sehingga kami, Saintis Muda FMIPA UM yang peduli
terhadap regulasi hukum Indonesia dan lingkungan hidup menyatakan penolakan
terhadap pembahasan RUU cipta lapangan kerja lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan
Perundang Undangan :
Salinan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56/PMK.02/2006 tentang Tata Cara Pembayaran Domestic Market Obligation Fee dan Over Under Lifting di Sektor Minyak dan Gas Bumi.
RUU Cipta Lapangan Kerja_Bookmarked.pdf
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jurnal
:
Taufiq, Muchammad, Kedudukan dan Prosedur Amdal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Fitryantica, Agnes, Harmonisasi Peraturan Perundang Undangan Indonesia Melalui Konsep Omnibus Law.
Alim NA, Nur, Pro Kontra Penerapan Omnibus Law dan Solusinya.