Kontradiksi Polemik JOKOWI Menjelang PEMILU 2024

Posted Leave a commentPosted in Artikel

#JOKOWI CAWE CAWE?? UNTUNG DONG!!!

Sistem demokrasi di Indonesia yang terdiri dari Pemilihan Umum atau yang lebih sering disingkat Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk membentuk pemerintahan perwakilan. Namun, pemilu tahun 2024 terasa berbeda daripada pemilu sebelumnya, banyaknya isu dan propaganda yang berkembang di masyarakat melalui media sosial yang juga semakin berkembang. Salah satu isu yang beredar saat ini adalah mengenai cawe-cawe presiden Indonesia yang ke 7, Bapak Joko Widodo begitu menarik perhatian berbagai macam pihak. Dimulai dari anaknya yang mencalonkan diri sebagai wakil presiden hasil dari putusan MK hingga pembagian bansos di depan istana negara. Akibatnya, berbagai pihak termasuk para petinggi universitas besar di Indonesia beserta mahasiswa banyak yang mengkritisi terkait cawe-cawe presiden dalam pemilu 2024. Bagaimanakah sikap kita seharusnya sebagai mahasiswa dalam menanggapi terkait kontradiksi polemik Jokowi menjelang pemilu 2024 ini? 

Emang Boleh, Presiden Ikut Kampanye? 

Polemik mengenai keberpihakan Presiden Jokowi menuai pro dan kontra. Dalam hal ini, Presiden Jokowi mengatakan bahwa terkait pernyataannya mengenai presiden boleh berpihak dan ikut kampanye dalam Pemilu 2024 untuk tidak dikait-kaitkan dalam hal yang tidak sesuai. Hal tersebut didukung dengan pernyataan Jokowi pada laman YouTube Sekretariat Presiden yang mengacu kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Pasal 299 dan 281. Pasal 281, menegaskan bahwa kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil, gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota harus memenuhi beberapa ketentuan. Diantaranya tidak menggunakan fasilitas dalam jabatan kecuali fasilitas pengamanan dan menjalani cuti di luar tanggungan negara, serta tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun sudah bercerai. Jokowi menyebut berdasarkan Pasal 299, presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye. Jokowi juga menjelaskan maksud dari pernyataannya terkait presiden hingga menteri boleh berpihak adalah untuk merespons pertanyaan awak media soal menteri aktif yang menjadi timses salah satu paslon.

Jokowi Memenuhi Syarat Untuk di Makzulkan?! 

Sementara itu sudut pandang kontra oleh Jentera Bivitri Susanti menilai klarifikasi Presiden Joko Widodo terkait presiden boleh kampanye banyak yang menyesatkan. “Itu sebenarnya misleading. Jadi yang dicetak oleh Pak Jokowi atau stafnya itu hanya satu ayat dari Pasal 299 UU Pemilu,” Ujar Bivitri ‘. Terdapat beberapa aspek-aspek tersorot yang disampaikan Jentera Bivitri Susanti diantaranya:

  • Pertama, memang jelas bahwa presiden, wakil presiden, menteri, atau pejabat negara lainnya memiliki hak untuk berkampanye. Disisi lain terdapat ketentuan lain yang tidak dijelaskan oleh presiden. Yakni, presiden dan wakil presiden boleh berkampanye untuk dirinya sendiri atau saat presiden menjadi pertahanan dan maju dalam periode kedua. Menyimpang dari hal tersebut, Jokowi sudah tidak lagi bisa mencalonkan sebagai capres.
  • Kedua, mereka boleh berkampanye kalau mendukung partai politik mereka sendiri. Menyimpang dari itu dengan fakta yang ada bahwa Prabowo-Gibran tidak diusung oleh partai politik yang menjadi rumah Jokowi, yakni PDIP.
  • Ketiga, berkampanye maka mereka harus masuk dalam kepengurusan timses. Artinya, Jokowi juga harus terdaftar dalam tim kampanye resmi dari pasangan calon yang didukungnya. Namun kenyataannya hal tersebut tidak terjadi.

Bivitri pun sekali lagi menegaskan pasal yang menyatakan hak presiden dan wakil presiden untuk berkampanye harus dibaca dalam konstruksi hukum yang utuh.

Lantas Bagaimana dengan Naiknya Anggaran Bansos Jelang Pemilu?

Jumlah anggaran bansos yang kerap menjadi sorotan lantaran naik dibandingkan tahun lalu ketika pandemi COVID-19. Anggaran Bansos ketika COVID-19 berjumlah 468,2 T sedangkan bansos saat ini mencapai 498 T. Berdasarkan pernyataan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani·bahwa pemerintah telah menyiapkan anggaran Rp11,25 triliun untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk memitigasi risiko pangan. BLT ini dirapel tiga bulan sekaligus pada Januari hingga Maret 2023.  “Kenaikan itu dibahas oleh pemerintah bersama DPR dan ditetapkan dalam UU. Jadi, kalau pemerintah menggunakan APBN, itu adalah uang APBN dimana sumber dan penggunaannya dibahas dan disetujui oleh DPR,” ujar Sri Mulyani.

Dampak Dirapelnya Penyaluran Bansos Jelang Pemilu

Momen penyaluran bansos yang dirapel dan mendekati pemilu menjadi kekhawatiran banyak pihak. Hal ini dinilai dapat disalahgunakan sebagai alat kampanye mengingat Gibran Rakabuming Raka, Putra Presiden Joko Widodo merupakan calon wakil presiden dari Prabowo Subianto. Penyaluran yang tidak tepat waktu sekaligus tanpa urgensi itu pun memunculkan kecurigaan bahwa pengelolaan APBN dimanfaatkan untuk kepentingan pemilu. “BLT pangan tidak tepat waktu karena dampak dari El Nino sudah lewat” ujar Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto.

Kampus Bergerak Kritisi Jokowi

Jelang pemilu ramai dari kalangan aktivis akademisi hingga guru besar dari banyak kampus ternama seperti UGM, UI, UII, dan kampus-kampus lainnya menyampaikan kritikan kepada Presiden Joko Widodo. Diawali dari komunitas aktivis UGM yang dari guru besar Fakultas Psikologi UGM, Profesor Koentjoro menilai tindakan Presiden Jokowi sebagai kepala negara dan pemerintahan justru menunjukkan bentuk-bentuk penyimpangan kepada prinsip dan moral demokrasi, kerakyatan, serta keadilan sosial yang merupakan esensi nilai Pancasila. Pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK) antara lain, keterlibatan aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang bergulir, serta pernyataan kontradiktif presiden tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik antara netralitas dan keberpihakan. 

Desakan ini juga turut dilakukan oleh Universitas Islam Indonesia, sejumlah guru besar, dosen, mahasiswa, dan alumni mendesak Presiden Jokowi untuk kembali dalam praktik kenegaraan. “Indonesia darurat kenegarawanan” ujar Rektor UII Prof. Fathul Wahid saat membacakan pernyataan sikap. Dalam hal ini pihak UII menyampaikan beberapa poin tuntutan antara lain, mendesak Presiden Jokowi untuk menjadi teladan dalam etika dan praktik kenegarawanan dengan tidak memanfaatkan Institusi Kepresidenan dalam memenuhi kepentingan politik keluarganya, serta keberpihakannya pada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kemudian menuntut Presiden Jokowi dan seluruh jajaran pemerintahan untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan dengan memanfaatkan fasilitas negara guna melakukan politik praktis. Serta imbauan DPR untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintahan agar tidak mengabaikan tugas masing-masing. Poin terakhir berupa dorongan terhadap calon presiden dan wakil presiden, serta pejabat pemerintahan seperti halnya para menteri dan kepala daerah apabila menjadi tim pemenang untuk salah satu pasangan calon, maka diminta untuk mengundurkan diri dari jabatanya. Pihak UII juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terlibat dalam berjalannya proses pemilihan umum guna tercapainya asas pemilu. 

Disusul oleh komunitas kampus Universitas Indonesia yang ikut menyuarakan dugaan praktik kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan pemilu 2014. Dalam hal ini Ketua Dewan Guru Besar UI Prof. Harkristuti Harkrisnowo menuntut agar semua ASN, pejabat pemerintah, ABRI dan Polri dibebaskan dan tidak mendapat tekanan untuk memenangkan salah satu paslon. Petisi berikutnya yakni menghimbau seluruh perguruan tinggi di Indonesia berperan dalam mengawasi pelaksanaan demokrasi dalam rangka pemilu 2024. “Mari kita jaga bersama demokrasi dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai dan banggakan,” ujar Prof. Harkristuti Harkrisnowo.

Presiden Jokowi Tidak Pernah Mencederai Demokrasi?

Pernyataan tegas telah diungkapkan oleh kelompok masyarakat yang tergabung Maklumat Alumni Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta se-Indonesia bahwa pemerintahan Joko Widodo dinilai tidak pernah mencederai demokrasi khususnya pada pemilu 2024. Maraknya pendapat negatif yang menyudutkan Presiden Jokowi membuat alumni Universitas Trisakti, Tomi Raharditia merasa aneh dengan isu tersebut. Tomi juga sangat menyayangkan narasi negatif yang menyudutkan Presiden Jokowi diangkat dengan penggunaan simbol universitas. Menurutnya, penggunaan simbol itu ada aturannya dan tidak bisa digunakan sembarangan. Jika ingin melakukan sebuah protes, Tomi mengungkapkan, pemerintah sudah menyediakan tempat untuk melakukan demo.

Simpulan

Pemilu merupakan suatu bentuk persaingan untuk mendapatkan kursi politik di pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat dan didasarkan pada pemilihan formal warga negara yang memenuhi syarat. Campur tangan dan keberpihakan Presiden Indonesia dalam pemilu 2024 membuat dunia perpolitikan di Indonesia semakin memanas. Isu mengenai nepotisme anak presiden yang mencalonkan diri sebagai wakil presiden dan cawe-cawe presiden dalam pemilu seperti pembagian bansos mendekati pemilu, banyak dikritisi oleh akademisi universitas di Indonesia, namun sebagian pihak menyatakan bahwa Presiden Indonesia tidak melanggar demokrasi Indonesia.